Kamis, 13 Maret 2008

Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Sudirman Siahaan*)

Abstrak

Setiap kemajuan yang berhasil dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi hendaklah senantiasa dipandang sebagai suatu instrumen untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Demikian juga halnya dengan “e-learning” sebagai salah satu wujud kemajuan yang dicapai di bidang teknologi komunikasi dan informasi haruslah juga disikapi secara positif sekalipun harus diakui ada sisi negatifnya. Dipandang secara positif, artinya, sejauh mana “e-learning” dapat dioptimalkan pemanfaatannya sehingga menjadi kontributor yang positif terhadap berbagai aspek kehidupan manusia pada umumnya dan bagi dunia pendidikan dan pembelajaran pada khususnya. Dalam kaitan ini, kerjasama dan koordinasi antara berbagai institusi/ organisasi yang mempunyai keterkaitan misi, tugas dan fungsi di bidang teknologi komunikasi dan informasi perlu disinergikan agar kemajuan yang ada dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya terutama di bidang pendidikan dan pembelajaran. Berkaitan dengan respons terhadap “e-learning”, ada yang pro dan kontra. Masing-masing dari kedua pihak ini didukung oleh berbagai argumentasi. Sejauh lembaga-lembaga pendidikan tertentu merespons “e-learning” secara positif karena memberikan nilai tambah bagi peningkatan kualitas lulusannya, maka lembaga pendidikan tersebut perlu didukung sebagai pionir. Lembaga-lembaga pendidikan lainnya dapat menjadikan pengalaman lembaga pionir ini sebagai rujukan apakah akan memanfaatkan “e-learning” atau akan menunda untuk jangka waktu tertentu.

Kata-kata Kunci: e-learning,website, pembelajaran, kegiatan belajar secara tatap muka

-----------------------

*) Drs. Sudirman Siahaan, MPd adalah tenaga fungsional peneliti bidang pendidikan pada Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM)-Departemen Pendidikan Nasional.

A. Pendahuluan

Semakin banyak orang, baik tenaga kependidikan maupun peserta didik, membicarakan kegiatan “e-learning”. Semakin banyak juga lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan yang mulai menerapkan “e-learning” dalam kegiatan pembelajarannya. Namun dalam perkembangannya, banyak pihak yang pro dan kontra terhadap “e-learning”. Terjadinya kelompok pro dan kontra terhadap “e-learning” dapat disebabkan berbagai faktor, tergantung dari sudut pandang yang digunakan.

Pihak yang pro “e-learning” dapat saja mengatakan bahwa kalau menunggu sampai semuanya sudah tersedia dan siap, kapan kita akan maju-maju. Kita akan tertinggal terus apabila kita tidak mau memulai dengan apa adanya. Karena itu, dengan kondisi apa adanya, kita harus memulai sekalipun itu baru dalam skala yang kecil. Artinya, lembaga-lembaga pendidikan dan atau pelatihan perlu didorong terus-menerus sehingga mereka dapat memulai sesuai dengan keberadaannya masing-masing.

Sedangkan pihak yang kontra “e-learning” dapat saja mengajukan berbagai pertanyaan yang memperlihatkan siap-tidaknya sekolah menerapkan “e-learning”. Misalnya, mengapa harus “e-learning”? Apakah tidak ada metode pembelajaran lain yang lebih sederhana yang mudah dilaksanakan guru di kelas? Apakah para guru kita sudah memiliki kesiapan untuk menerapkan “e-learning”? Bukankah sebagian besar guru kita masih “gatek” (gagap teknologi)? Bagaimana dengan peralatan yang dibutuhkan untuk menerapkan “e-learning”? Bagaimana dengan piranti lunaknya? Kalaupun seandainya piranti keras dan lunaknya disediakan, bagaimana dengan keberlanjutannya (sustainability)? Masih ada sederetan pertanyaan lainnya yang dapat diajukan sebagai perisai untuk menyimpulkan sikap kontra terhadap “e-learning”.

Kenyataannya memang tetap selalu pihak yang pro dan kontra. Sekalipun demikian, yang juga menjadi kenyataan adalah bahwa berbagai lembaga pendidikan sekolah atau pelatihan yang memandang penting pemanfaatan “e-learning dan telah melakukan berbagai persiapan yang pada akhirnya telah mulai menerapkan “e-learning. Tidaklah juga perlu memaksakan berbagai pendidikan sekolah atau pelatihan lainnya untuk segera memanfaatkan “e-learning”. Dalam hal ini, pengelola lembaga pendidikan sekolah atau pelatihan yang cepat dan sigap untuk memanfaatkan kemajuan teknologi, biarlah mereka lakukan dengan cepat. Senaliknya, pengelola lembaga pendidikan sekolah atau pelatihan yang menilai belum saatnya untuk ber”e-learning”, biarlah juga mereka menyusul kemudian.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap penerapan “e-learning”, maka tulisan ini dimaksudkan sebagai suatu sumbang pemikiran untuk melihat berbagai aspek yang berkaitan dengan “e-learning” yang dapat menambah perluasan wawasan. Atau setidak-tidaknya, sebagai bahan perbandingan namun bukan untuk memihak pada pihak yang pro atau kontra terhadap “e-learning”.

B. Pembahasan

1. Pengertian “e-Learning”

Pertama-tama perlu disepakati terlebih dahulu tentang pengertian istilah “e-learning” (pembelajaran elektronik). Beberapa istilah lain yang digunakan untuk “e-learning” adalah: “internet-based learning” (belajar berbasis internet), “virtual learning” (belajar melalui lingkungan maya), “web-based learning” (belajar berbasis web). Dalam kaitan dengan pengertian “e-learning”, Mark Nichols mengemukakan bahwa “e-learning” merupakan kegiatan pendidikan/pembelajaran yang memanfaatkan berbagai sarana teknologi, baik yang berupa “web-based”, “web-distributed”, maupun “web-capable” (Nichols, 2003).

Beberapa ahli mengemukakan bahwa istilah “e-learning” mengacu pada penggunaan teknologi internet untuk menyajikan sejumlah pilihan solusi yang sangat luas (a broad array of solution) yang mengarah pada peningkatan pengetahuan dan performans. Sedangkan Mary Daniels Brown dan Dave Feasey mengemukakan bahwa “e-learning” merupakan satu bentuk kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan, seperti: internet, Local Area Network (LAN), atau Wider Area Network (WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan fasilitasi serta didukung oleh berbagai layanan belajar lainnya (Brown, 2000; Feasey, 2001).

Di dalam Newsletter of ODLQC dikemukakan bahwa setidak-tidaknya dapat ditarik 3 (tiga) hal penting sebagai persyaratan kegiatan belajar elektronik (e-learning) atau disebut juga metode pembelajaran melalui pemanfaatan media elektronik, yaitu: (a) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan (“jaringan” dalam uraian ini dibatasi pada penggunaan internet. Jaringan dapat saja mencakup LAN atau WAN). (Website eLearners.com), (b) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta belajar, misalnya CD-ROM, atau bahan cetak, dan (c) tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila mengalami kesulitan.

Di samping ketiga persyaratan tersebut di atas masih dapat ditambahkan persyaratan lainnya, seperti adanya:

a. lembaga yang menyelenggarakan/mengelola kegiatan e-Learning,

b. sikap positif dari peserta didik dan tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan internet,

c. rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/diketahui oleh setiap peserta belajar,

d. sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta belajar, dan

e. mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga penyelenggara (Newsletter of ODLQC, 2001).

Berkaitan dengan pengertian tentang “e-learning”, Arief Rachman mengemukakan bahwa ada 3 kriteria mendasar yang perlu dipahami dalam mendiskusikan “e-learning”, yaitu bahwa “e-learning”:

a. merupakan jaringan yang memungkinkan dilakukannya pemutakhiran secara instan, penyimpanan/pengambilan, distribusi dan berbagi informasi atau materi pembelajaran;

b. menggunakan perangkat komputer sebagai sarana penyajian dengan menerapkan standar teknologi internet;

c. berfokus pada keluasan pandangan tentang belajar termasuk tentang solusi belajar yang melampaui paradigma pelatihan yang tradisional. (Rachman, 2002).

2. Awal Perkembangan “e-learning” di Indonesia

Dari berbagai referensi dapat diketahui bahwa beberapa institusi di berbagai negara telah menyelenggarakan secara penuh kegiatan pembelajaran yang dikelolanya melalui media elektronik (e-learning). Artinya, “e-learning” benar-benar berfungsi sebagai pengganti kegiatan pembelajaran yang disajikan secara tatap muka di sekolah normal (konvensional). Berbagai kepentingan untuk konsultasi dan diskusi dengan dosen atau penyerahan tugas-tugas dilakukan secara elektronik, melalui fasilitas telepon, atau fax. Apabila dalam keadaan yang sangat diperlukan, memang disediakan peluang untuk bertatap muka antara mahapeserta didik dan dosen. Lulusan yang dihasilkan melalui “e-learning” dihargai sama dengan hasil kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka. Bagaimana “e-learning” di Indonesia?

Tampaknya, belum ada institusi pendidikan di Indonesia yang menerapkan “e-learning” sebagai substitusi atau pengganti kegiatan pembelajaran yang disajikan secara tatap muka di sekolah konvensional. Dengan demikian, tidak ada alternatif bagi peserta didik apakah akan mengikuti kegiatan pembelajaran secara tatap muka atau melalui media elektronik. Perkembangan lain yang dapat diamati adalah berbagai institusi telah merintis penyelenggaraan kegiatan “e-learning” untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka (konvensional). Atau dapat dikatakan bahwa “e-learning” masuk ke sekolah-sekolah untuk mendukung kegiatan pembelajaran tatap muka yang diselenggarakan guru di dalam kelas. Dalam hal ini, fungsi “e-learning” adalah sebagai pelengkap, pengayaan, tutorial, atau umpan balik.

Kegiatan pembelajaran secara elektronik atau singkatnya disebut “e-learning” telah dimulai pada tahun 1970-an. Namun di Indonesia, barulah pada akhir tahun 1990-an, berbagai institusi pendidikan dan pelatihan mulai memperlihatkan perhatian untuk memanfaatkan “e-learning”. Pembahasan tentang “e-learning” tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur telekomunikasi yang memungkinkan dilakukannya koneksi ke internet. Dalam kaitan ini, PT Pos Indonesia melalui kantor pos yang terdapat di ibukota kabupaten/kota menyediakan fasilitas koneksi ke internet bagi masyarakat luas.

Sejauh ini, penyediaan fasilitas internet melalui PT Pos Indonesia telah masuk ke-116 kota di seluruh Indonesia (Hardhono, 2002). Keberadaan berbagai perguruan tinggi di kabupaten/kota turut mempercepat peningkatan jumlah pengguna internet. Demikian juga halnya dengan jumlah institusi penyelenggara kegiatan pembelajaran elektronik, yaitu tercatat sekitar 150 institusi penyelenggara perkuliahan elektronik untuk program sarjana muda dan 200 institusi untuk program sarjana (Pethokoukis, 2001)

Inisiatif lembaga untuk berperanserta dalam penyediaan fasilitas koneksi ke internet diikuti juga oleh kalangan masyarakat secara perseorangan yang ditandai dengan pesatnya perkembangan Warung Internet (WARNET) di kalangan masyarakat khususnya di daerah perkotaan. Peranserta masyarakat perkotaan yang menyediakan fasilitas koneksi internet kepada publik, yaitu yang berupa Warung Internet (WARNET) terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Jumlah berbagai lembaga dan perseorangan yang mengembangkan website yang antara lain berisikan berbagai referensi tentang ilmu pengetahuan, baik untuk konsumsi umum maupun secara khusus untuk peserta didik, mahapeserta didik, guru/dosen, dan kaum profesionals. Selain itu, hadirnya berbagai penyedia jasa internet yang memberikan kemudahan kepada publik untuk menjadi pelanggan internet (internet subscribers) secara gratis turut mempercepat pemanfaatan internet di Indonesia.

Sebagai satu catatan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 1995 berjumlah sekitar 10.000 pengguna, kemudian terus meningkat menjadi sekitar 2,4 juta pengguna pada tahun 2001 dengan rincian: 550.000 pengguna dari rumah, 26.000 pengguna dari perusahaan, 2.000 sekolah dengan rata-rata 500 pengguna setiap sekolah, 500 perguruan tinggi dengan rata-rata 1.000 mahapeserta didik setiap perguruan tingginya, dan 2.500 warung internet dengan rata-rata 100 pelanggan dari setiap warung internet (Hardjito, 2002).

Kemudian, berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan telah mulai melakukan perintisan penerapan “e-learning” dalam kegiatan belajar-mengajar. Dalam hal ini, fungsi “e-learning” dapat sebagai tutorial, pengayaan, atau remedial bagi peserta didik. Beberapa di antara lembaga pendidikan dan pelatihan ini adalah sekolah-sekolah di lingkungan BPK Penabur Jakarta, Universitas Bina Nusantara, UGM, Universitas Pelita Harapan, Universitas Terbuka, Universitas Trisakti.

3. Apakah “E-learning” atau Metode Belajar lewat Internet telah Menjadi Kebutuhan?

Untuk dapat menjawab apakah “e-learning” atau metode pembelajaran melalui internet telah menjadi suatu kebutuhan, maka perlu terlebih dahulu dilakukan studi. Ada beberapa studi yang telah dilakukan di antaranya adalah (a) studi penjajagan tentang kemungkinan pemanfaatan internet untuk kegiatan pembelajaran di SMU dan SMK (Siahaan, 2002), dan (b) studi perbandingan tentang kegiatan pembelajaran tutorial secara tatap muka dengan kegiatan pembelajaran tutorial melalui pemanfaatan internet (Simanjuntak dan Siahaan, 2003).

Ada beberapa kesimpulan dari kedua studi tersebut di atas yang relevan untuk dikemukakan, yaitu: (a) jumlah sekolah (SMU dan SMK) yang dilengkapi dengan perangkat komputer semakin meningkat jumlahnya, (b) jumlah sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas Local Area Network (LAN) juga turut meningkat, (c) pengelola sekolah yang telah memiliki laboratorium komputer tetapi belum memiliki fasilitas LAN menyatakan akan melengkapi sekolah dengan LAN, (d) para peserta didik dan guru menyambut positif gagasan untuk merintis penyelenggaraan kegiatan pembelajaran melalui internet (e-learning), (e) tidak ada perbedaan signifikan prestasi belajar para peserta didik yang mengikuti kegiatan tutorial melalui tatap muka dengan para peserta didik yang mengikuti tutorial lewat pemanfaatan internet. Dengan demikian, terbuka peluang bagi sekolah (dalam hal ini para guru) untuk mempersiapkan materi tutorial yang akan disajikan secara elektronik.

Namun, yang menjadi permasalahannya sekarang bukanlah terletak pada apakah metode belajar lewat internet atau “e-learning” sudah menjadi kebutuhan atau belum, tetapi cenderung pada apa yang perlu dilakukan sehingga fasilitas internet dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pendidikan/pembelajaran yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Dengan terbukanya peluang bagi peserta didik untuk mengakses bahan-bahan pembelajaran secara elektronik di samping yang mereka peroleh di dalam kelas, maka para peserta didik dapat memperkaya pemahamannya, memperluas wawasannya, dan pada akhirnya bermuara pada peningkatan prestasi belajar mereka. Dengan demikian, tidak perlu harus menunggu sampai semua sekolah sudah benar-benar siap dalam arti telah dilengkapi dengan fasilitas lab komputer dan LAN, baru kemudian kita memikirkan untuk memulai menerapkan “e-learning”.

Peningkatan jumlah pengguna internet sangat menakjubkan di berbagai negara, terutama di lingkungan negara-negara berkembang. Alexander Downer, Menteri Luar negeri Australia, mengemukakan bahwa jumlah pengguna internet dalam kurun waktu 1998-2000 meningkat dari 1,7 juta menjadi 9,8 juta orang (Brazil), dari 3,8 juta menjadi 16,9 juta orang (China), dan dari 3.000 menjadi 25.000 orang (Uganda) (Downer, 2001).

Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa prosentase jumlah warga negara di kawasan Asia Tenggara yang telah memanfaatkan internet atau telah terkoneksi dengan internet adalah: Singapore (49%), Malaysia (17%), Filippina (2.46%), Thailand (1,86%), Brunei Darussalam (1,19%), dan disusul oleh Indonesia (0,88%), Lao PDR (0,11%), Vietnam (0,13%), dan Cambodia (0,05%). (Pascual dan Sulaiman, 2003). Dalam kaitan ini, tentunya kita harus bekerja lebih keras lagi agar semakin banyak warga negara kita yang melek internet sehingga tidak tertinggal/terlindas oleh persaingan kehidupan global, semakin banyak lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan yang menerapkan “e-learning”, dan semakin banyak pula anggota masyarakat yang menyediakan layanan fasilitas koneksi internet sehingga mempermudah publik untuk memanfaatkannya bagi berbagai kepentingan.

4. Bagaimana Kemungkinan Keberhasilan Penerapan Sistem Belajar secara Elektronik?

Ya, memang sangat berat untuk mengubah kebiasaan yang telah berkembang di masyarakat. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang lebih cenderung “suka mendengar” (listening society). Dalam kaitan ini, yang menjadi masalah adalah bagaimana memotivasi masyarakat agar mulai membudayakan kebiasaan membaca?. Memang tidak mudah. Jika tidak mudah dilakukan, apakah memang harus diabaikan atau dibiarkan saja demikian? Jawabannya, tentulah tidak. Berbagai upaya haruslah dilakukan agar masyarakat secara bertahap terkondisi untuk mulai mengembangkan budaya membaca. Masyarakat luas memang perlu bukti dan hal inilah yang sangat sulit dilakukan. Meyakinkan masyarakat memang sulit apabila belum ada bukti-bukti yang pendukung.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada satu contoh pengalaman empirik sewaktu mengintroduksi sebuah inovasi atau pembaharuan di bidang pendidikan, yaitu: perintisan Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP Terbuka) pada tahun 1979. Sewaktu gagasan untuk merintis penyelenggaraan SMP Terbuka dilontarkan, berbagai issue atau pemikiran berkembang. Salah satu di antaranya adalah bagaimana mungkin anak-anak usia SMP harus belajar secara mandiri dengan kondisi harus banyak membaca. Kemudian, ditekankan juga bahwa kegiatan membaca para mahasiswa saja disinyalir masih belum terlalu menggembirakan, apalagi di kalangan para siswa.

Sesuai dengan rancangan sistemnya, para peserta didik SMP Terbuka memang menghabiskan sebagian besar waktu belajarnya untuk belajar mandiri, baik secara individual maupun kelompok. Kegiatan membaca memang sangat dominan. Pertemuan peserta didik secara tatap muka dengan guru sangat terbatas, yaitu hanya sekali seminggu. Karena itu, memang para penggagas SMP Terbuka dituntut untuk melakukan berbagai persiapan sebelum kegiatan perintisan dilakukan, termasuk antara lain: penyiapan bahan-bahan belajar, penyiapan daerah yang akan dijadikan sebagai lokasi perintisan, pelatihan para guru dan tutor, sampai dengan pengelolaan penyelenggaraan kegiatan pembelajarannya.

Dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik yang bersifat individual maupun institusional (perguruan tinggi dan lembaga penelitian), ternyata prestasi belajar para lulusan SMP Terbuka tidak kalah jauh dengan lulusan SMP biasa atau konvensional. Para lulusan SMP Terbuka juga tidak kalah bersaing dalam mengikuti pendidikan lanjutan di Sekolah Menengah. Dewasa ini, SMP Terbuka dapat dijumpai di semua propinsi di Indonesia dan telah dijadikan sebagai salah satu pola wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Persoalan tentang kesiapan menerima atau menerapkan sistem pembelajaran melalui pemanfaatan internet atau “e-learning”, maka tidak perlu harus menunggu atau menundanya dengan berbagai dalih tetapi justru memulainya dengan berbagai ragam kesiapan yang ada. Bahkan sekarang ini, beberapa sekolah sudah berinisiatif memulai penerapan “e-learning” sekalipun dalam skala yang masih relatif kecil. Artinya, kesiapan untuk menerapkan “e-learning” dapat dimulai dengan jumlah sekolah yang sedikit sebagai pionir. Secara bertahap, sekolah-sekolah lainnya akan dapat belajar dari pengalaman yang telah dimiliki oleh sekolah-sekolah pionir (rintisan). Pentahapan yang demikian ini akan berjalan seiring dengan perkembangan kesiapan sekolah-sekolah lainnya.

Infrastruktur teknologi telekomunikasi yang telah tersedia akan terus ditingkatkan. Demikian juga dengan jumlah sekolah yang melengkapi dirinya dengan lab komputer dan fasilitas LAN akan semakin banyak dan terus meningkat, berbagai situs yang menyajikan materi pembelajaran mulai tersedia sehingga dapat diakses oleh para peserta didik, pelatihan para guru di bidang pengembangan dan pemanfaatan internet untuk pembelajaran juga terus dilakukan, jumlah warga masyarakat yang menyediakan layanan fasilitas koneksi internet terus bertambah banyak, maka tidak ada alasan untuk berdiam diri atau menunggu, tetapi melakukan sinergi antara berbagai institusi atau organisasi yang memiliki misi, tugas dan fungsi yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi untuk mempercepat pemasyarakatan pemanfaatan internet untuk pembelajaran.

5. Bagaiman Kualitas Lulusan Sekolah yang Menerapkan “E-learning”?

Pertanyaan mengenai kualitas ini memang sangat menarik dan selalu menggelitik. Demikian juga pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan peluang beredarnya ijazah palsu. Ada kekhawatiran berbagai pihak terhadap lembaga pendidikan yang menyelenggarakan “e-learning” dalam hal pengeluaran ijazah palsu. Kedua pertanyaan atau pemikiran ini akan dicoba diuraikan pada bagian berikut.

Banyak contoh yang dapat kita pelajari dari berbagai lembaga pendidikan di berbagai negara yang telah lebih dahulu melaksanakan “e-learning”. Belajar dari pengalaman berbagai lembaga pendidikan yang lebih dahulu menerapkan “e-learning”, maka “kesalahan atau kekurangan/ kelemahan” yang pernah terjadi dan dialami oleh berbagai institusi terdahulu tidak perlu kita ulangi. Dalam kaitan ini, ada beberapa variasi yang dilakukan oleh berbagai institusi dalam menerapkan “e-learning”.

Pertama-tama, guru hanya memulai penggunaan email dan alat komunikasi sejenisnya untuk berkomunikasi dengan para peserta didiknya, baik dalam menyampaikan tugas-tugas maupun informasi penting lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran. Para peserta didik juga menggunakan fasilitas komunikasi yang sama untuk merespons gurunya. Dapat saja kegiatan ini sebagai kegiatan awal untuk menuju pada pemanfaatan internet untuk pembelajaran. Selain itu, guru juga dapat menugaskan para peserta didiknya untuk melakukan “browsing” mengenai tugas-tugas tertentu.

Guru, tentunya dengan dukungan sekolah dan orangtua peserta didik serta berbagai pihak lainnya, mulai merintis penggunaan “perangkat lunak (software)” tertentu di dalam merancang dan menyajikan materi pelajarannya kepada peserta didik. Porsi waktu peserta didik untuk melakukan koneksi ke internet semakin meningkat. Sangat ideal apabila para peserta didik dapat melakukan koneksi internet di sekolah setelah jam pelajaran sekolah usai. Artinya, peserta didik berada di sekolah lebih lama. Pertemuan di kelas dengan guru semakin lebih terfokus pada pembahasan berbagai kesulitan yang dihadapi para peserta didik sewaktu melakukan akses internet. Artinya, terjadi pembagian “tanggungjawab” antara guru dan fasilitas internet dalam kegiatan pembelajaran.

Manakala berbagai kondisi yang dibutuhkan dinilai sudah kondusif untuk memulai kegiatan pembelajaran secara elektronik, maka lembaga pendidikan dapat saja memulai kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan internet (internet-based learning) sebagai pengganti kegiatan pembelajaran secara tatap muka. Tentunya, keputusan untuk memulai kegiatan pembelajaran secara elektronik penuh dilakukan secara bertahap.

Sebagai contoh misalnya, penerapan “e-learning” dapat dimulai dari pemanfaatan fasilitas email sebagai media komunikasi antara peserta didik dengan guru di samping untuk berbagai penugasan. Kemudian, tahapan berikutnya dapat saja dilakukan dengan pemanfaatan internet untuk kegiatan tutorial, pengayaan, atau remedial. Setelah itu, barulah dimulai penerapan “e-learning” sebagai substitusi kegiatan pembelajaran secara tatap muka di kelas. Pola pembelajaran “e-learning” sebagai substitusi terhadap kegiatan pembelajaran secara tatap muka telah diterapkan oleh berbagai institusi di berbagai negara. Para peserta didik yang lulus melalui “e-learning” dengan peserta didik yang lulus melalui kegiatan belajar tatap muka diberikan penghargaan yang sama. Tentu timbul pertanyaan, bagaimana di Indonesia?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas ada baiknya kita telaah penyelenggaraan sistem pendidikan SMP Terbuka. Peserta didik SMP Terbuka belajar secara mandiri dengan menggunakan bahan-bahan belajar mandiri yang disebut modul. Pertemuan dengan Guru Bina (guru mata pelajaran) hanya sekali seminggu. Kegiatan belajar sepenuhnya diserahkan kepada peserta didik itu sendiri. Mekanisme penilaian yang berlaku di SMP reguler (konvensional) diberlakukan juga di SMP Terbuka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perbedaan SMP Terbuka dengan SMP reguler hanya terletak pada strategi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan SMP Terbuka adalah juga sama dengan lulusan SMP reguler.

Analogi dengan model pendidikan SMP Terbuka di atas, maka pada kegiatan pembelajaran secara elektronik dapat diterapkan hal yang sama. Artinya, apabila kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan internet atau “e-learning” menerapkan kurikulum, kompetensi dan materi ujian yang sama dengan yang digunakan pada kegiatan pembelajaran yang bersifat tatap muka (lembaga pendidikan reguler), maka tentunya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa para peserta didik yang lulus melalui kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan internet “tidak sama dengan yang lulus melalui model pendidikan reguler”. Karena perbedaan yang ada hanyalah menyangkut strategi kegiatan pembelajaran.

Hal teknis yang mungkin perlu mendapat perhatian pada kegiatan pembelajaran secara elektronik adalah yang menyangkut dengan pelaksanaan ujian. Banyak pihak yang mempertanyakan kualitas pelaksanaan dan hasil ujian bagi peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran secara elektronik. Dalam kaitan ini, para ahli pembelajaran elektronik telah menyiasati kemungkinan terbukanya peluang bagi peserta didik untuk melakukan berbagai kecurangan dalam mengikuti ujian.

Model ujian yang ditempuh adalah mengumpulkan semua peserta didik yang akan mengikuti ujian di tempat tertentu yang dilengkapi dengan perangkat komputer yang terkoneksi ke jaringan internet. Soal-soal ujian tetap disajikan secara elektronik. Dengan teknik-teknik tertentu, peserta didik hanya boleh mengubah pilihan jawabannya sebanyak 2 kali misalnya dan soal-soal ujian akan terkunci apabila waktu yang dialokasikan untuk mengerjakannya telah habis. Di samping itu, tempat penyelenggaraan ujian juga diawasi oleh petugas tertentu. Dengan demikian, peserta didik yang mengikuti ujian tidak akan mempunyai kesempatan untuk saling bekerjasama.

Di samping kekhawatiran tentang kualitas pelaksanaan dan hasil ujian bagi peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran secara elektronik, masih ada kekhawatiran banyak pihak yaitu yang berkaitan dengan peluang “komersialisasi ijazah”.

Yang namanya jual beli apa saja termasuk ijazah dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, baik dalam kegiatan pembelajaran di sekolah reguler maupun kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan internet (“e-learning”). Berbagai media massa pada waktu-waktu yang lampau banyak menyoroti tentang adanya sinyalemen kepemilikan atau penggunaan ijazah aspal (asli tetapi palsu). Tidak akan ada asap apabila tidak ada api. Terjadinya ijazah palsu ini tentunya disebabkan karena ada pihak yang membutuhkan dan ada pihak yang menawarkan. Pada umumnya pihak yang menawarkan ini adalah oknum yang tidak bertanggung-jawab.

Kemudian, berbagai media massa juga mengekspos tentang ijazah palsu yang digunakan oleh berbagai pihak dan konsekuensi yang diakibatkannya. Mereka yang menggunakan ijazah palsu yang dapat terungkap, tentulah pertama-tama akan menjadi malu. Sanksi sosial atau moral ini tentunya akan dirasakan jauh lebih berat oleh mereka yang menggunakan ijazah palsu. Apalagi perbuatan yang tidak terpuji ini dilanjutkan dengan proses hukum. Memperhatikan adanya kecenderungan pembuatan ijazah palsu, maka diperlukan berbagai upaya antisipasi agar kondisi yang memungkinkan terjadinya jual-beli ijazah dapat diminimalkan atau ditiadakan.

C. Kesimpulan dan Saran

Adalah hal yang lumrah apabila setiap gagasan pembaharuan senantiasa disertai pendapat yang pro dan kontra. Masing-masing pihak, baik yang pro maupun yang kontra, akan mengajukan sejumlah rasional yang mendukung sikapnya. Hal yang sama juga terjadi pada bidang-bidang lainnya termasuk di bidang pendidikan. Salah satu kemajuan yang mengemuka dan menarik perhatian banyak pihak adalah teknologi internet. Kemajuan teknologi internet dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan/pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan internet. Kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan internet disebut dengan berbagai istilah, seperti: “e-learning”, “internet-based learning”, virtual learning”, atau “web-based learning”.

Dipandang secara positif, artinya, sejauh mana “e-learning” dapat dioptimalkan pemanfaatannya sehingga menjadi kontributor yang positif terhadap berbagai aspek kehidupan manusia pada umumnya dan bagi dunia pendidikan dan pembelajaran pada khususnya. Dalam kaitan ini, kerjasama dan koordinasi antara berbagai institusi/organisasi yang mempunyai keterkaitan misi, tugas dan fungsi di bidang teknologi komunikasi dan informasi perlu disinergikan agar kemajuan yang ada dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya terutama di bidang pendidikan dan pembelajaran.

Istilah “e-learning” diartikan sebagai kegiatan pendidikan/pembelajaran yang memanfaatkan berbagai sarana teknologi. Berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan telah menerapkan “e-learning” dalam kegiatan pembelajarannya. Lembaga pendidikan dan pelatihan ini telah melewati beberapa tahapan. Bahkan beberapa di antara lembaga pendidikan dan pelatihan telah menerapkan “e-learning” sebagai substitusi dari kegiatan pembelajaran secara tatap muka.

Berkaitan dengan kegiatan pembelajaran secara elektronik (“e-learning”), banyak kekhawatiran yang dilontarkan, misalnya tentang kualitas lulusannya, pelaksanaan ujiannya, atau peluang untuk jual-beli ijazah. Dalam kaitan ini, perlu dilakukan keseriusan dalam menerapkan “e-learning”. Berbagai kelemahan atau kekhawatiran masyarakat akan model pembelajaran “e-learning” perlu disiasati sehingga dapat menjadi satu alternatif kegiatan pembelajaran yang dibutuhkan dengan memperoleh pengakuan yang sama dengan kegiatan pembelajaran secara tatap muka.

Kepustakaan:

Brown, Mary Daniels. (2000). “Education World: Technology in the Classroom: Virtual High Schools, Part 1, The Voices of Experiences”. Sumber: Internet

Downer, Alexander. 2001. The Virtual Colombo Plan-Bringing the Digital Divide. (sumber dari internet: http://www.ausaid.gov.au/).

Feasey, Dave. 2001. E-Learning. Eyepoppingraphics, Inc. (sumber dari Internet tanggal 20 Agustus 2002: http://eyepopping.manilasites.com/profiles/).

Hardhono, A.P. 2002. ‘Potensi Teknologi Komunikasi dan Informasi dalam Mendukung Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh di Indonesia’ dalam Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh Vol. 3, No. 1 Maret 2002. Tangerang: Pusat Studi Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Terbuka.

Hardjito. (2002). Internet untuk Pembelajaran. Artikel dalam Jurnal TEKNODIK No.: 10/VI/TEKNODIK/OKTOBER/ 2002. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional.

Mark Nichols (Nichols, 2003). A Theory of Learning. Palmerston North, New Zealand.

Pethokoukis, James M. 2002. E-Learn and Earn. (sumber dari Internet: 20 Agustus 2002. http://www.usnews.com/edu/elearning/articles/020624elearning.htm

Pascual, Wifredo O, Abdul Wahid Sulaiman. (2003). E-Learning Issues and Challenges in Southeast Asia. Paper disajikan pada seminar regional/internasional tentang pendidikan terbuka/jarak jauh di Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjong Malim-Malaysia, 25 September 2003.

Rachman, Arief. (2002). “e-Learning”. Makalah yang disajikan pada seminar e-Learning pada tanggal 2 Juli 2002 di Jakarta, diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional.

Siahaan, Sudirman. (2002). Studi Penjajagan tentang Kemungkinan Pemanfaatan Internet untuk Pembelajaran di SLTA di Wilayah Jakarta dan Sekitarnya. Artikel dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun Ke-8, No.: 039, November 2002. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

Simanjuntak, WBP dan Sudirman Siahaan. (2003). Studi Eksperimen tentang Pemanfaatan Internet untuk Belajar Remedia di SMU. Paper yang disajikan pada seminar nasional tentang teknologi pembelajaran di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: