Selasa, 15 Januari 2008

Mengapa Kebiasaan Membaca Masih Belum Berkembang?

Mengapa Kebiasaan Membaca Masih Belum Berkembang?
Sudirman Siahaan*) dan Rr Martiningsih**)
pakdirman@yahoo.com dan tinink@gmail.com


Abstrak
Kegiatan membaca merupakan jendela dunia. Dengan banyak membaca berarti seseorang dapat memperoleh berbagai informasi yang berkembang, baik yang sifatnya lokal, nasional maupun yang global. Melalui kegiatan membaca, seseorang dapat belajar mengenai berbagai hal mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang kompleks, misalnya membuat berbagai jenis kerajinan tangan, membuat berbagai jenis penganan, dan merakit radio transistor atau komputer. Tetapi, mengapa kegiatan membaca masih juga belum menjadi kebiasaan hidup masyarakat Indonesia? Mengapa kegiatan membaca belum bisa menjadi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia? Apakah masalah ini berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia yang masih memprihatinkan? Apakah dunia pendidikan/pelatihan (terutama para guru/dosen/widyaiswara) yang belum mampu mengkondisikan berkembangnya minat baca di kalangan para peserta didik dan masyarakat pada umumnya? Apakah keluarga atau orangtua juga belum mengoptimalkan perannya dalam menumbuh-kembangkan minat baca para anaknya? Apakah media massa belum optimal berperanserta untuk menyosialisasikan pentingnya kegiatan membaca dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari? Mengapa kegiatan membaca ini belum berkembang menjadi kegemaran atau kebiasaan di kalangan masyarakat Indonesia?. Tentunya banyak faktor yang menjadi penyebab belum berkembangnya kebiasaan membaca. Di dalam tulisan ini, yang menjadi fokus pembahasan adalah berbagai upaya yang dipandang/dinilai dapat menciptakan kondisi yang mendorong orang untuk membiasakan dirinya untuk banyak membaca.
Kata-kata kunci: membaca, kebiasaan atau kegemaran membaca, dan pentingnya kegiatan membaca dalam pengembangan kualitas diri.








-------------------------------------
*) Sudirman Siahaan adalah tenaga fungsional peneliti bidang pendidikan pada Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom)-Departemen Pendidikan Nasional.
**) Rr. Martiningsih, M.Pd. adalah guru matematika dan Kasi Reseach and Development, Lembaga Pendidikan Al Muslim Sidoarjo-Jawa Timur.

A. Pendahuluan

Mengapa masyarakat Indonesia (baik anak-anak maupun orang dewasa) kurang berminat membaca? Padahal jika dicermati sejenak tentang perkembangan sepuluh tahun terakhir mengenai penerbitan majalah dan koran, maka akan tampak bahwa jumlah penerbitan, baik nama/judul maupun jumlahnya meningkat. Mestinya keadaan yang demikian ini mencerminkan bahwa jumlah orang yang berminat membaca semakin meningkat juga. Tetapi agaknya minat membaca ini masih hanya sebatas pada membaca koran dan majalah. Sedangkan minat baca untuk buku-buku yang memuat pengetahuan yang menyebabkan masyarakat menjadi cerdas dan mampu bersaing di berbagai bidang dengan masyarakat lain di dunia internasional (http://www.cybertokoh.com/mod).
Pada umumnya, orang belajar membaca pada saat mereka pertama sekali memasuki lembaga pendidikan, baik yang disebut Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) maupun Sekolah Dasar (SD). Belum semua anak usia pra sekolah mempunyai kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan di sekolah TK, baik karena kondisi orangtua yang tidak memungkinkan maupun karena sekolah TK-nya yang belum tersedia di lingkungan yang terjangkau. Sekalipun demikian, ada sebagian kecil orangtua (educated families) yang membimbing anak-anaknya belajar membaca sehingga memiliki kemampuan membaca dan kemungkinan juga menulis sebelum masuk ke lembaga pendidikan TK.
Bagaimana dengan anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang atau tidak berpendidikan sama sekali atau lingkungan keluarga yang kurang beruntung dari segi sosial ekonomi? Adalah sangat beruntung apabila anak-anak dari lingkungan keluarga yang demikian ini masih sempat menikmati pendidikan SD. Bagaimana jadinya jika karena satu dan lain hal, anak-anak dari lingkungan keluarga yang kurang/tidak berpendidikan atau yang kurang keadaan sosial ekonominya ini, tidak sempat atau tidak memungkinkan sama sekali menikmati pendidikan SD? Tentunya mereka ini berkontribusi terhadap bertambahnya jumlah penduduk yang buta aksara.

Membelajarkan anak-anak untuk dapat membaca dan menulis (baca tulis) dinilai lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan membelajarkan orang dewasa untuk hal yang sama. Oleh karena itu, masa kanak-kanak menjadi masa yang potensial dan strategis yang seyogianya dioptimalkan untuk membelajarkan anak-anak agar memiliki kemampuan membaca dan menulis. Sekalipun seseorang telah memiliki kemampuan dan keterampilan dasar membaca dan menulis, namun masih dituntut adanya kegiatan pembinaan baca tulis agar yang bersangkutan tidak kembali menjadi buta aksara. Pembinaan kegiatan membaca dan menulis ini masih terus dapat dinikmati anak-anak apabila mereka melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kegiatan membaca dan menulis memang tidak hanya menjadi monopoli sistem pendidikan persekolahan tetapi juga di lingkungan pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah. Dari tahun ke tahun, perkembangan jumlah masyarakat Indonesia yang buta aksara diekspose disertai dengan keberhasilan yang dicapai, berbagai permasahan yang dihadapi, dan juga berbagai dampak yang diakibatkannya. Oleh karena itu, adalah hal yang menarik untuk mengetahui bagaimana gambaran umum kebiasaan membaca masyarakat Indonesia. Berbagai tulisan dapat dibaca mengenai masih memprihatinkannya minat baca masyarakat Indonesia. Rendahnya minat baca ini juga mengindikasikan masih belum berkembangnya kebiasaan membaca masyarakat Indonesia.

Minat dan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia yang masih rendah ini dapat dilihat melalui berbagai indikator. Apa yang cenderung dilakukan orang yang mau berobat yang sedang menunggu giliran di ruang praktek dokter atau di rumah sakit? Apakah ada yang menggunakan waktunya untuk membaca bahan-bahan bacaan, baik yang disediakan maupun yang sengaja dibawa sendiri dari rumah? Pada umumnya jika diamati, maka akan lebih banyak orang yang menggunakan waktunya berdiam diri atau mengobrol. Demikian juga halnya dengan mereka yang sedang menunggu keberangkatan kereta api, pesawat terbang atau angkutan jemputan kantor. Masih sangat langka untuk melihat orang menggunakan waktunya membaca selama mereka sedang berada dalam penantian.

Lebih spesifik lagi, di lingkungan mereka yang sedang mengikuti pendidikan di SD, SMP, SM, atau bahkan di perguruan tinggi, berapa banyak jumlah peserta didik yang menggunakan waktunya untuk membaca setiap hari? Atau, berapa banyak rata-rata jumlah buku yang dibaca oleh setiap peserta didik setiap minggu, bulan, atau semester? Apakah kebiasaan membaca atau kegemaran membaca ini sudah ditumbuh-kembangkan orangtua di dalam diri anak di rumah sebelum mereka memasuki lembaga pendidikan TK atau SD? Bagaimana kemampuan membaca para peserta didik? Kemudian, selama mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan, apakah kebiasaan membaca peserta didik terus dikembangkan atau ditingkatkan oleh para guru? Apakah para guru sendiri juga sudah mengembangkan kebiasaan membaca? Bagaimana pula di lingkungan masyarakat? Apakah lingkungan masyarakat juga sudah kondusif terhadap pengembangan minat dan kebiasaan membaca?

Tentunya sangat berbeda apabila kita melihat atau menjumpai orang asing (dari negara Barat atau Eropa) yang berada di Indonesia. Pada umumnya, mereka ini menggunakan waktu luangnya untuk membaca apabila mereka sedang istirahat di kolam renang, atau sedang dalam perjalanan naik kereta api, bus, atau pesawat. Dengan kebiasaan membaca masyarakat yang relatif sudah tinggi seperti yang terjadi di negara-negara maju, maka kegiatan pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas membaca yang teratur tidak lagi menjadi kendala. Mengapa?
Bagi masyarakat yang telah membiasakan dirinya membaca atau bahkan membudayakan kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari (membaca sebagai kebutuhan hidup sehari-hari), maka manifestasinya tampak dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terlepas dari aktivitas membaca. Kegiatan membaca akan menjadi salah satu aktivitas yang dilakukan orang per orang dalam pengisian waktu luang. Keadaan yang demikian inilah yang masih langka tampak dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tampaknya hanya sebagian kecil jumlah masyarakat Indonesia yang mengisi waktu luangnya dengan kegiatan membaca. Bahkan bagi kelompok masyarakat ini, kegiatan membaca juga dilakukan pada saat makan, dalam perjalanan yang sedang macet, atau sedang nongkrong buang air besar.

B. Pembahasan

1. Mengapa Kebiasaan Membaca Masyarakat Relatif Rendah?

Memang selain masih kentalnya budaya lisan bagi masyarakat kita, faktor keterbatasan buku bacaan yang baik dan menarik, keterjangkauan daya beli masyarakat, serta keterbatasan penyebaran bahan-bahan bacaan juga menjadi titik pemicu rendahnya minat baca bangsa Indonesia. Selain itu, slogan untuk menumbuhkan minat baca buku yang dibuat pemerintah seperti: ”Budayakan membaca buku”, ”Buku adalah jendela dunia”, ”Biasakan memberi hadiah buku”, dapat dikatakan masih belum sepenuhnya menjangkau masyarakat, khususnya masyarakat di lapisan bawah, baik yang berada di daerah perkotaan maupun perdesaan, kecuali anak-anak sekolah yang kebetulan mendapat pinjaman buku-buku paket pelajaran dari sekolah. Hal ini berarti bahwa pemasyarakatan minat dan kebiasaan membaca melalui berbagai slogan saja tak cukup, masih perlu dilanjutkan dengan berbagai aksi atau kegiatan-kegiatan konkrit.
Harian umum Kompas mengungkapkan bahwa buku pelajaran belum dapat meningkatkan minat baca (Kompas, 5 Mei 1997). Lebih jauh lagi dikemukakan bahwa rendahnya minat baca disebabkan oleh faktor budaya, kesenangan berkumpul untuk “ngobrol”, menariknya acara-acara yang ditayangkan media elektronik, dan langkanya bahan bacaan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembaca. Sebagaimana yang sering diperbincangkan, baik dalam berbagai forum/pertemuan ilmiah, maupun yang diekspos oleh berbagai media cetak bahwa kebiasaan atau minat baca masyarakat Indonesia dinilai masih relatif rendah dibandingkan dengan kebiasaan atau minat baca masyarakat di negara-negara tetangga.

Rendahnya minat baca atau kebiasaan membaca masyarakat Indonesia menurut Dwi Purwoko, pengamat sosial dan budaya LIPI, sangat terkait dengan keadaan keluarga yang belum kondusif untuk menumbuh-kembangkan “budaya baca” anak-anak (Purwoko, 1997). Sebagai salah satu indikator untuk menunjukkan masih relatif rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah rasio pembaca surat kabar. Menurut Dwi Purwoko yang merujuk pada data dari World Press Trends, rasio pembaca koran di Indonesia adalah 1: 40 (perbandingan jumlah surat kabar dengan jumlah penduduk). Hal ini berarti bahwa satu surat kabar dibaca oleh 40 orang Indonesia. Sangat jauh berbeda keadaannya dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia.
Sebagai contoh misalnya di Singapura, rasio surat kabar sangat tinggi, yaitu 1 : 3 (satu surat kabar hanya dibaca oleh 3 orang) dan di Malaysia adalah 1 : 8 (satu surat kabar hanya dibaca oleh 8 orang). Lebih jauh, Dwi Purwoko menjelaskan bahwa peningkatan minat baca masyarakat sangat terkait dengan peran keluarga karena melalui pendidikan keluarga, jiwa "gemar membaca" bisa dibentuk (Purwoko, 1997).

Contoh lainnya adalah gambaran tentang perbedaan kemampuan membaca para peserta didik Indonesia dengan peserta didik di beberapa negara tetangga Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Hieronymus Budi Santoso (Kompas, 25 September 1996). Kemampuan membaca peserta didik Indonesia hanya 51,7% yaitu jauh lebih rendah dibandingkan dengan peserta didik di Thailand (65,1%), Singapura (74,0%), dan Hongkong (75,5%).

Apakah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini berhubungan dengan konteks budaya yang ada? Apakah rendahnya minat baca ini juga berhubungan dengan tingkat kesejahteraan sosial masyarakat? Atau, apakah rendahnya minat baca ini berhubungan dengan kondisi pendidikan formal persekolahan yang belum mampu menumbuh-kembangkan kebiasaan atau minat baca para peserta didik?

a. Minat Baca dan Budaya Bangsa

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang cenderung lebih mengembangkan budaya lisan dengar (Kompas, 1 Februari 1996) dibandingkan dengan budaya tulis sekalipun sebenarnya budaya tulis telah lama dikenal dan dimulai penggunaannya. Salah satu bukti telah digunakannya bahasa tulis adalah penggunaan daun lontar atau kulit kayu sebagai media untuk menulis pada beberapa abad yang lalu. Namun dalam perkembangannya, justru yang sebaliknya yang terjadi, yaitu budaya lisan yang lebih banyak dikembangkan.

Berbagai bentuk ungkapan budaya yang berupa kesenian yang berkembang di berbagai daerah memperlihatkan bahwa budaya lisan yang lebih menonjol dikembangkan. Sebagai contoh misalnya adalah pewarisan pengetahuan atau pendadaran untuk menjadi seorang dalang wayang kulit atau wayang orang. Calon dalang dapat dikatakan belajar dengan cara memperhatikan atau mengamati dan mengikuti sang dalang mendalang (learning by observing, listening, and doing).

Tidak hanya sekedar mengamati dan mengikuti sang dalang melakukan kegiatan mendalang, tetapi juga terlibat langsung dalam membantu sang dalang melakukan berbagai persiapan, baik dalam rangka menyelenggarakan pementasan (mendalang) maupun untuk menyimpan, merawat, dan membersihkan wayang dan peralatan lainnya. Dalam interaksi yang terus-menerus inilah terjadi proses pembelajaran dari seorang dalang kepada calon dalang.

Dengan keteraturan dan kesungguhan untuk melakukan pengamatan terhadap cara dalang mendalang dan kemudian mencoba belajar menirukannya setahap demi setahap dengan bimbingan sang dalang, maka pada akhirnya, calon dalang mampu memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mempraktekkannya. Demikianlah seterusnya proses yang sama dilakukan untuk menghasilkan dalang baru.

Penggunaan bahasa tulis untuk belajar menjadi dalang kemungkinan sekali masih belum ada yang memulai. Artinya, budaya lisan yang sangat dominan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sejauh ini tampaknya belum ada lembaga pendidikan formal (sekolah) yang secara khusus mempersiapkan seseorang untuk menjadi dalang. Bahan-bahan belajar tertulis juga kemungkinan dipersiapkan sehingga dapat dipelajari oleh siapa saja yang berkeinginan menjadi dalang. Demikian juga halnya dengan pewarisan nilai-nilai kesenian tradisional lainnya, seperti: ludruk atau ketoprak.

Bahasa adalah bagian dari budaya. Pertanyaannya adalah bagaimana seorang anak belajar memahami dan menggunakan bahasa ibu? Sebagian besar kegiatan membelajarkan anak memahami dan menggunakan bahasa ibu adalah juga dilakukan secara lisan sekalipun memang ada aksara bahasa ibu.

Apakah semua penutur bahasa ibu dapat menuliskan aksaranya (bukan penulisan bahasa ibu dalam pengertian bahasa Latin)? Belum tentu semua orangtua yang menggunakan bahasa ibu mampu menuliskan aksaranya. Yang kemungkinan lebih memprihatinkan lagi adalah apakah aksara bahasa ibu masih akan eksis apabila pelestariannya tidak dilakukan melalui budaya tulis? Apakah mempelajari dan menguasai bahasa ibu secara tertulis hanya akan menjadi konsumsi kaum elit akademisi saja?

Di kelompok masyarakat etnis tertentu, telah membudaya untuk memiliki kemampuan membaca dan menulis sehingga di kalangan etnis ini sangat sulit untuk menemukan anggota masyarakat yang buta aksara. Ataupun kalau ada, jumlahnya sangat kecil. Mengapa? Dari semenjak anak-anak sampai dengan orangtua, berkaitan dengan kehidupan beragama, maka masyarakat etnis ini dikondisikan untuk dapat membaca aksara Latin. Kemampuan membaca dituntut dari setiap anggota masyarakat ini dalam kegiatan hidup beragama. Oleh karena itu, kegiatan membaca menjadi kegiatan yang fungsional dalam kehidupan masyarakat.
Bahkan para orangtua mengembangkan sikap yang sangat peduli dengan pendidikan para anaknya. Sebagai contoh, misalnya orangtua rela menjual harta bendanya asalkan anak-anaknya dapat bersekolah setinggi-tingginya, atau orangtua rela hanya makan sehari-hari dengan makanan seadanya atau bahkan juga rela makan kurang dari tiga kali sehari asalkan anak-anaknya dapat terus bersekolah.

b. Minat Baca dan Kesejahteraan Sosial Masyarakat

Tingkat kesejahteraan sosial masyarakat sangat menentukan apakah para orangtua akan mengirimkan anak-anaknya mengikuti pendidikan di TK, SD atau ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Apabila orangtua memiliki penghasilan yang memadai sehingga memungkinkan menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membiayai anak-anaknya mengikuti pendidikan, maka para orangtua tentunya akan menyekolahkan anak-anaknya untuk mengikuti pendidikan setinggi mungkin.

Minat baca di kalangan keluarga yang tingkat kesejahteraan sosialnya relatif tinggi (masyarakat berpenghasilan memadai ke atas) lebih mendapat perhatian karena memang dituntut oleh lembaga pendidikan sekolah untuk membaca, setidak-tidaknya buku-buku pelajaran. Membeli buku kemungkinan besar tidak terlalu menjadi masalah bagi kalangan masyarakat ini.
Yang justru menjadi masalah adalah menumbuh-kembangkan kegiatan membaca menjadi suatu kebiasaan di tengah-tengah keluarga. Apalah artinya banyak tersedia buku atau bahan bacaan dalam suatu keluarga apabila kegiatan membaca belum menjadi kebiasaan hidup sehari-hari? Kegiatan membaca hanya dilaksanakan karena ada keterpaksaan, misalnya karena ada tugas-tugas yang diberikan guru di sekolah sehingga mengharuskan dilakukannya kegiatan membaca.

Di kalangan para orangtua juga, kegiatan membaca tampaknya masih belum sepenuhnya menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Artinya, para orangtua masih belum sampai pada tahap di mana apabila mereka tidak membaca setiap hari, maka akan timbul perasaan yang kurang lengkap dalam hidupnya. Itulah sebabnya, membaca itu masih belum dirasakan sebagai suatu kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi.

Memang menjadi masalah untuk menyekolahkan anak-anak di kalangan orangtua yang kondisi atau kemampuan finansialnya relatif rendah atau dapat dikatakan bahwa untuk mempertahankan hidup keluarga mereka saja sudah sulit. Sudah dapat dipastikan bahwa anak-anak dari kalangan keluarga ini pasti tidak akan mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan. Di sinilah sebenarnya, peranan Pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga negara tanpa memandang bulu untuk dapat menikmati layanan pendidikan sampai pada pendidikan dasar 9 tahun. Peran pemerintah ini sudah dilakukan dengan menyediakan berbagai bentuk layanan pendidikan yang memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya. Peran tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan untuk menyosialisasikan pemahaman tentang pentingnya pendidikan dalam memeprsiapkan masa depan anak-anak.

Bagaimana minat baca di kalangan anak-anak yang sama sekali tidak sempat menikmati pendidikan SD atau juga yang tidak mungkin dapat menyelesaikan pendidikan SD? Mereka inilah yang kemudian menjadi kontributor terhadap jumlah penduduk yang buta aksara. Peranan pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah sangat diharapkan untuk memberikan kesempatan belajar membaca dan menulis bagi warga masyarakat yang di masa kanak-kanaknya atau remajanya terkendala dalam menikmati layanan pendidikan.

c. Minat Baca dan Peran Orangtua

Peran orangtua dinilai masih belum sepenuhnya mengkondisikan rumahnya sebagai tempat persemaian untuk tumbuh dan berkembangnya rasa ingin atau gemar membaca di dalam diri para anak-anaknya. Bagaimana mungkin orangtua menciptakan suasana rumah sebagai tempat yang kondusif (menggugah atau mendorong) bagi anak-anak untuk tertarik dan mau membaca, serta akhirnya menyenangi kegiatan membaca dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam kaitan ini, Dwi Purwoko mengatakan bahwa masih belum banyak keluarga yang menamamkan "budaya membaca" kepada putra-putrinya (Kompas, 21 Juni 1997).

Para orangtua hendaknya memahami peranan dan tanggungjawabnya untuk membimbing dan membelajarkan para anaknya sehingga memiliki pengetahuan membaca dan menulis. Langkah awal yang dibutuhkan tentunya adalah dengan mengkondisikan anak agar senantiasa terdorong untuk suka buku. Dengan menciptakan suasana rumah yang kondusif bagi anak-anak untuk menyenangi kegiatan membaca, maka lama-kelamaan diharapkan akan tertanam di dalam jiwa anak-anak perasaan gemar atau suka membaca (Kompas, 4 Nopember 1996). Apabila anak-anak telah terbiasa dalam suasana senang membaca di rumah, maka kebiasaan membaca yang sudah terpupuk di dalam diri anak-anak di rumah akan dibawa juga ke luar rumah.

Membaca menurut Dwi Purwoko memang relatif lebih sulit dibandingkan dengan menonton karena kegiatan membaca membutuhkan daya imajinasi yang kuat. Oleh karena itulah, seseorang akan lebih cenderung memilih menonton dibandingkan dengan kegiatan membaca.

d. Minat Baca dan Peran Guru

Ada pepatah yang mengatakan “bisa karena biasa”. Bagaimana bisa berkembang kegiatan membaca apabila tidak dibiasakan? Pada umumnya, anak-anak pertama sekali belajar membaca dan menulis adalah melalui bimbingan para guru di sekolah. Hal ini tidaklah mengabaikan bahwa ada juga para orangtua yang anak-anaknya telah dibimbing/diajari membaca dan menulis terlebih dahulu sebelum mereka memasuki pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bahkan ada juga sebagian para orangtua yang telah mengkondisikan lingkungan rumah tangganya sebagai tempat suka atau ramah membaca.

Para guru Taman kanak-Kanak atau SD mempunyai tugas untuk membelajarkan para anak didiknya untuk memiliki kemampuan membaca dan menulis. Memang menjadi dilematis bagi para guru untuk membiasakan anak-anak didiknya melakukan kegiatan membaca apabila sebagian besar para orangtua tidak mempunyai kemampuan untuk membeli buku atau bahan-bahan bacaan. Sekalipun memang di sekolah, ada perpustakaan sekolah tetapi seberapa banyak sekolah terutama yang tersebar di daerah pedesaan yang telah dilengkapi dengan perpustakaan sekolah? Tentu jumlahnya dapat dikatakan masih sangat terbatas, yaitu sebagaimana yang dikemukakan Mastini bahwa hanya sekitar 20% sekolah di Indonesia yang memiliki perpustakaan sekolah (Kompas, 18 September 1996). Perpustakaan sekolah inilah yang tampaknya perlu secara terus-menerus dikembangkan agar para peserta didik terkondisi untuk membiasakan diri mereka membaca.

Manakala perpustakaan telah tersedia di sekolah, maka tugas guru adalah menugaskan para peserta didik untuk memanfaatkan perpustakaan, tidak hanya sebagai tempat peminjaman buku tetapi juga tempat membaca buku secara teratur di luar buku-buku teks pelajaran. Misalnya saja, para peserta didik ditugaskan secara individual membaca sebuah buku sastra selama 2 minggu dan menuliskan secara singkat isi buku yang telah dibaca. Dalam kaitan ini, para peserta didik perlu dibimbing tentang cara-cara menulis ringkasan buku. Masalah jumlah buku dan rentangan waktu untuk membacanya tentu dapat disesuaikan dengan keadaan setempat yang ada. Yang penting adalah bahwa guru telah mengkondisikan para peserta didik secara teratur untuk membaca buku. Akan lebih baik lagi apabila peserta didik tidak hanya menulis ringkasan buku yang dibaca tetapi juga menyajikan di depan kelas, dan mendiskusikan isinya di bawah bimbingan guru.

Dengan teraturnya para peserta didik membaca buku, maka pepatah yang mengatakan “bisa karena biasa” dapat mewujud di dalam diri peserta didik. Para peserta didik akan terbiasa membaca buku sehingga pada akhirnya diharapkan kegiatan membaca akan menjadi salah satu kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.

e. Minat Baca dan Taman Bacaan Masyarakat (Perpustakaan Desa)

Beberapa tahun terakhir ini, Departemen Pendidikan Nasional terus menggugah masyarakat untuk berperanserta dalam penyelenggaraan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Dalam kaitan ini, Departemen Pendidikan Nasional memberikan insentif yang berupa block grant kepada organisasi/lembaga atau anggota masyarakat yang berperanserta menyelenggarakan pengadaan dan pengelolaan TBM. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat menggunakan waktu luangnya untuk kumpul-kumpul datang ke TBM, baik untuk membaca, mendapatkan informasi, maupun untuk berdiskusi tentang berbagai hal yang berkembang.

Para anggota masyarakat yang telah melek aksara dapat memanfaatkan TBM untuk melanjutkan/meningkatkan kemampuan membacanya melalui berbagai bahan bacaan yang disediakan pengelola TBM. Oleh karena itu, pengelola TBM hendaknya berupaya menyediakan bahan-bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik yang baru melek aksara maupun yang sudah melek aksara, seperti: para peserta didik, remaja, ibu-ibu atau masyarakat pada umumnya.
Ketersediaan atau kehadiran TBM tentulah akan menjadi tempat yang kondusif untuk menggugah masyarakat membiasakan dirinya membaca secara teratur. Memang diperlukan peranserta para pamong desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mensosialisasikan keberadaan dan manfaat TBM dalam kehidupan sehari-hari. Keikutsertaan keluarga yang memiliki kemampuan lebih, dapat menyumbangkan bahan-bahan bacaan yang dimilikinya, baik yang berupa surat kabar, majalah atau buku-buku ke TBM sehingga koleksi TBM terus bertambah dari waktu ke waktu.


2. Upaya Peningkatan Minat atau Kebiasaan Membaca

Semua pihak haruslah memiliki kepedulian (concerns) terhadap masih rendahnya minat atau kebiasaan membaca masyarakat di samping masih relatif tingginya jumlah masyarakat yang buta aksara. Masing-masing komponen bangsa termasuk keluarga terpanggil untuk berperanserta dalam peningkatan minat atau kebiasaan membaca sesuai dengan peran dan kemampuan yang dimiliki. Rentangan peranserta masyarakat dalam peningkatan kebiasaan membaca dapat dimulai dari penyampaian pokok-pokok pikiran sampai dengan kegiatan konkrit dalam menyediakan dan menyelenggarakan/mengelola unit atau tempat masyarakat dapat membaca.

a. Keluarga sebagai Tempat Persemaian Tumbuhnya Kegemaran Membaca

Tempat yang pertama sekali dirasakan dan dikenal anak sebagai lingkungan hidup yang interaktif yang penuh dengan perasaan cinta kasih adalah keluarga. Jika lahir sebagai anak yang pertama, maka tatapan mata ayah dan ibu yang penuh rasa kasih sayang tiada pernah henti. Belaian, nyanyian, ciuman, dan berbagai sentuhan lainnya memperlihatkan pencurahan totalitas kasih sayang orangtua yang tulus tiada hentinya dan berlangsung sepanjang masa. Pun tiada pernah terbersit di dalam diri orangtua untuk mendapatkan balasannya dari para anaknya.
Pertumbuhan minat baca bisa dimulai sejak bayi lahir. Bahkan banyak ahli psikologi yang menyarankan agar bayi yang masih ada di dalam kandungan juga distimulasi sejak dini untuk mengenal dunia luar dengan mengajak mereka berbicara. Sang orok yang masih berada dalam perut ibu katanya sudah dapat mendengar suara yang ada di sekitarnya, meskipun masih sangat lemah.

Para ahli psikologi dan syaraf menyatakan bahwa pada masa bayi berada dalam kandungan, maka pertumbuhan otaklah yang paling cepat di antara bagian tubuh yang lain. Pada saat bayi dilahirkan, sel-sel otak (neuron) telah mencapai 25% dari otak orang dewasa serta mengandung 100 miliar sel otak. Pada saat anak berumur 3 tahun, pertumbuhan otak sudah mencapai 90% dari otak dewasa. Setelah usia 3 tahun ke atas tinggal fase pembesaran dan pematangan neuron (http://www.suaramerdeka.com/).

Anak terus mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Panca indera anak mulai berfungsi sepenuhnya dan seluruhnya. Kebutuhan anak juga terus berkembang seiring dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Rasa atau dorongan untuk ingin mengetahui berbagai obyek yang ada di sekitar lingkungannya terus berkembang. Melalui indera penglihatan, anak mulai menjangkau dan mengambil, memegang, mengamati, dan menyimpannya jika menyukainya, atau kemudian membuang atau meletakkannya begitu saja apabila kurang atau tidak menyukainya.

Oleh karena itu, anak dalam usia dini perlu dikenalkan dengan dunia membaca (Kompas 1 Mei 1997). Otak mereka akan merekam isi bacaan apa pun yang disampaikan orangtuanya dalam gaya cerita. Hal ini telah dipraktikkan dan menjadi tradisi di Jepang dengan gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child. Gerakan ini menganjurkan seorang ibu untuk membacakan kepada anaknya sebuah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum atau sekolah selama 20 menit sebelum anaknya pergi tidur.

Selain itu, anak juga perlu diberikan buku-buku yang penuh warna-warni dan isinya memikat daya fantasi. Di samping untuk mengenalkan bentuk obyek, juga mengenalkan warna kepada anak. Karena pada usia dini, anak belum mampu memperlakukan buku dengan baik, maka fisik buku yang diperlukan anak umumnya mesti kuat dan tebal, tak mudah robek dan gampang dibuka. Di Amerika, buku-buku seri Child Growing-up (tumbuh kembah anak) terbitan Sesame Street sangat digemari sebab isinya yang sangat pas bagi anak, fisik buku pun sangat aman dan menarik bagi anak (http://www.suaramerdeka.com/ harian/0309/03/kha1.htm).

Meningkatkan minat baca anak memang dimulai dari keluarga sebagai tempat di mana orangtua mencurahkan kasih sayangnya. Orangtua hendaknya memberi contoh atau teladan dalam membaca. Apabila orangtua rajin membaca, maka anak akan melihat kebiasaan orangtuanya, dan juga akan menirukan kebiasaan tersebut (Santoso, 1996) karena anak belajar dari panca inderanya, yaitu antara lain melalui apa yang dilihat. Apabila orangtua sendiri tidak punya keinginan membaca atau di mata anak-anak bahwa orangtua mereka tidak atau jarana sekali membaca, maka sulit sekali menumbuhkan minat baca pada diri anak-anak.

Orangtua yang sering mengajak putra-putrinya untuk berjalan-jalan di toko buku, memilah-milah buku, mengajak ke pameran buku, atau mengajak putra-putrinya ke perpustakaan atau taman bacaan anak, maka di dalam diri anak juga akan tumbuh minat baca, karena orangtua telah mengarahkan mereka. Hal itu akan terjadi pula sebaliknya. Bila orangtua tidak pernah mengajak putra-putrinya ke toko buku, tidak pernah diajak memilah-milah buku, tidak pernah mengajak ke pameran buku, atau tidak pernah mengajak putra-putrinya ke perpustakaan atau taman bacaan anak, maka akan sulit ditumbuhkan minat baca di dalam diri anak.

Dengan pengenalan buku pada anak sejak dini, maka minat baca pada anak akan tumbuh. Sesuai dengan prinsip psikologi bahwa cara bertindak seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan yang terekam dalam memori otaknya semasa kecil.

b. Sekolah sebagai Tempat Menimba Ilmu dan Guru sebagai Orangtua Kedua

Upaya untuk meningkatkan minat atau kebiasaan membaca yang lain adalah sekolah, dan guru sebagai orangtua kedua di sekolah bisa terus menerus memotivasi peserta didik untuk membaca. Dengan menjelaskan manfaat membaca bagi para peserta didik, baik manfaat membaca itu saat ini atau kelak di kemudian hari diharapkan akan dapat menggugah minat peserta didik untuk menyukai kegiatan membaca. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar peserta didik giat membaca di sekolah adalah dengan mengajak mereka bersama-sama ke perpustakaan, guru membacakan buku cerita bergambar yang menarik dengan menunjukkan gambar ketika guru membacakan buku tersebut, di mana cara ini cocok unuk peserta didik TK dan kelas 1 SD.

Sedangkan peserta didik kelas 2 atau kelas 3, bisa dimotivasi minat bacanya dengan mengajak ke perpustakaan, meminta mereka membaca buku cerita yang telah disediakan guru, di mana guru telah memilihkan buku dengan warna-warni yang menarik, dan peserta didik diminta menceritakan siapa tokoh dalam buku tersebut, dan kejadian apa yang mereka alami. Kemudian, peserta didik kelas 4 hingga kelas 6 SD diminta untuk membaca buku, menuliskan siapa pengarang, isi cerita, dan pesan moral apa yang ingin disampaikan kepada pembaca, dan seterusnya. Semakin tinggi kelasnya, maka bisa semakin beragam dan kompleks tugas yang diberikan kepada peserta didik dalam hal membaca. Anak-anak sudah harus dijadwalkan untuk membaca buku-buku sastra, atau yang sesuai dengan minatnya. Kegiatan ini harus dilanjutkan ke kelas berikutnya dengan beban kegiatan yang disesuaikan agar anak-anak memiliki kemampuan memahami kehidupan dan perasaan orang lain.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, para peserta didik bisa berlatih menulis bagaimana caranya membuat ringkasan dan bercerita di depan teman-temannya. Dengan cara ini, sengaja atau tidak, anak-anak akan mengunjungi perpustakaan sekolah, perpustakaan umum untuk mencari berbagai referensi baru untuk mereka baca. Perpustakaan sebagai jantung sekolah dengan koleksi buku yang ada akan terasa sangat bermanfaat. Upaya yang demikian ini merupakan motivasi yang menjadi langkah awal positif untuk menggerakkan kemauan peserta didik untuk membaca.

Pada saat anak-anak menunggu pembagian rapor, kegiatan sekolah akan dapat bertambah misalnya dengan menyelenggarakan lomba membuat ringkasan buku dan lomba menceritakan kembali apa yang telah dibaca. Kegiatan lain yang dapat dilakukan juga adalah bedah buku. Bedah buku merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengkondisikan para peserta didik untuk membaca buku. Dapat saja misalnya guru menentukan (1) buku yang akan dibahas, (2) peserta didik yang akan menyajikan pendapatnya tentang buku yang akan dibahas, dan (3) peserta didik yang akan menyampaikan komentar terhadap buku yang dibahas.

Kerjasama antara orangtua dan guru dalam mengkondisikan anak agar gemar membaca perlu ditingkatkan. Di sekolah, peran guru sangat besar dan menentukan agar anak gemar membaca. Guru dapat memulai atau melanjutkan upaya membiasakan para peserta didik membaca melalui berbagai kegiatan sebagai pengisi waktu luang. Ada dugaan bila kebutuhan emosional seorang anak bisa terpenuhi maka diharapkan tawuran dan kenakalan remaja bisa berkurang (http://www.pakdirman.blogspot.com).

Peningkatan minat baca di sekolah sebenarnya sudah cukup lama digarap oleh pemerintah, terutama untuk tingkat SD, SLTP dan SMU. Dengan diadakannya Proyek Inpres tentang pengadaan buku bacaan di sekolah, maka semakin banyak pula bahan bacaan bagi anak sekolah.
Peran guru dalam meningkatkan minat baca anak adalah dengan cara meminta anak untuk membaca buku-buku yang disediakan guru. Selain buku, perpustakaan sekolah pun menjadi sarana yang perlu mendapat perhatian sebagai pusat pengembangan minat dan kegemaran membaca. Guru bisa mengajak peserta didik untuk belajar mencari materi pelajaran dari perpustakaan. Perpustakaan sekolah merupakan jantung sekolah yang memompakan semangat pemenuhan rasa ingin tahu (curiousity). Bahkan karena pentingnya perpustakaan, pemerintah mencanangkan bulan September sebagai bulan gemar membaca dan hari kunjung perpustakaan (http://www.suaramerdeka.com/).

c. Lingkungan Masyarakat selain Orangtua dan Guru

Tempat lain yang bisa membantu anak menumbuh-kembangkan minat dam kebiasaan bacanya adalah lingkungan yang mendukung. Adanya taman bacaan bagi masyarakat dapat menumbuhkan minat baca warga masyarakat yang tidak membedakan usia mereka. Majalah anak, koran anak, tabloid anak yang sekarang sedang marak juga mendukung upaya-upaya untuk menumbuh-kembangkan minat baca pada diri anak. Bila sajian dari majalah anak, koran anak, atau tabloid anak menarik, pasti anak selalu ingin membaca dan membaca. Komik juga sangat menarik bagi anak-anak. Banyak penerbit yang telah menerbitkan buku pengetahuan dalam bentuk komik, demikian juga dengan biografi orang-orang terkenal dan juga buku tentang budi pekerti. Oleh karena itu, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk lebih mengembangkan bacaan yang menarik bagi anak-anak.

d. Tiga Faktor yang Mempengaruhi Seseorang Membaca

Hasil temuan Jeanne Chall dan Emily Marston tentang tiga faktor yang mempengaruhi seseorang membaca dalam tulisannya yang berjudul ”The Reluctant Reader: Suggestion from Research and Practice”, dikutip oleh Donna E. Norton dalam bukunya ”Through the Eyes of A Child”, sebagaimana yang dikemukakan oleh Aprilia Purba (Kompas, 4 Januari 1997) adalah: (1) ketersediaan buku (accessibility of materials) hendaknya dimulai di lingkungan keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama seorang manusia, (2) kemampuan membaca hendaknya juga menjadi perhatian dalam penyediaan bahan-bahan bacaan (misalnya: tingkat kesulitan, mudah dipahami, bahasa yang sederhana), dan (3) minat baca.

C. Penutup

1. Kesimpulan

a. Membelajarkan anak-anak untuk dapat membaca dan menulis (baca tulis) oleh sebagian ahli dinilai lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan membelajarkan orang dewasa untuk hal yang sama. Oleh karena itu, masa kanak-kanak menjadi masa yang potensial dan strategis yang seyogianya dioptimalkan untuk membelajarkan anak-anak agar memiliki kemampuan membaca dan menulis.

b. Bagi masyarakat yang telah membiasakan dirinya membaca atau bahkan membudayakan kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari (membaca sebagai kebutuhan hidup sehari-hari), maka manifestasinya tampak dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terlepas dari aktivitas membaca.

c. Minat baca rendah karena masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang cenderung lebih mengembangkan budaya lisan dibandingkan dengan budaya tulis sekalipun sebenarnya budaya tulis telah lama dikenal dan dimulai penggunaannya, tingkat kesejahteraan sosial masyarakat turut menentukan apakah para orangtua akan mengirimkan anak-anaknya mengikuti pendidikan di TK, SD atau ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Peran orangtua dinilai masih belum sepenuhnya mengkondisikan rumah sebagai tempat persemaian tumbuh berkembangnya rasa ingin membaca di dalam diri para anak, guru juga masih belum semuanya membiasakan anak-anak didiknya untuk teratur membaca, dan masih terbatasnya sarana taman bacaan di lingkungan masyarakat.

d. Untuk meningkatkan minat dan kebiasaan membaca dapat dimulai dari kehidupan keluarga di rumah, diteruskan dan dibina oleh para guru di sekolah, sampai dengan penyelenggaraan perpustakaan atau taman bacaan di lingkungan masyarakat.

2. Saran-saran

Pemerintah, orangtua, guru, dan masyarakat hendaknya bersama-sama terus meningkatkan minat dan kebiasaan membaca anak-anak karena anak-anak merupakan penerus bangsa. Mengingat kebiasan dan minat baca yang tinggi dari suatu bangsa akan dapat mengantarkan bangsa yang bersangkutan untuk duduk sejajar dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan global, maka hendaknya semua komponen bangsa sesuai dengan peran masing-masing secara bersama terus memotivasi dan menumbuh-kembangkan minat dan kebiasaan membaca anak-anak.

Di lingkungan keluarga, para orangtua hendaknya berupaya menciptakan rumah sebagai tempat yang kondusif untuk mendorong anak-anak menjadi tertarik, senang dan mau membaca. Para orangtua juga hendaknya juga memperlihatkan contoh (sebagai model panutan) kebiasaan membaca yang sehari-harinya dapat diamati oleh anak-anaknya dan diharapkan akan menjadi model yang ditiru oleh anak-anaknya. Pemberian buku sebagai hadiah kepada anak, membawa anak mengunjungi perpustakaan atau toko-toko buku, mendiskusikan isi buku tertentu dengan anak, akan dapat mendorong anak untuk melakukan kegiatan membaca.

Di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan sekolah, para guru hendaknya selalu berupaya untuk mendorong para peserta didiknya untuk secara teratur melakukan kegiatan membaca dan mengisi waktu-waktu luangnya dengan kegiatan membaca melalui pemberian tugas-tugas sekolah. Menulis ringkasan isi suatu buku, menceritakan isi buku di depan teman-temannya atau membuat klipping tentang tema tertentu dapat merupakan salah satu kondisi yang mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan membaca. Mengembangkan dan mengelola perpustakaan sekolah juga dapat menjadi salah satu kondisi yang dapat menggugah peserta didik untuk melakukan kegiatan membaca. Oleh karena itu, disarankan agar sekolah mengupayakan adanya perpustakaan sekolah. Apabila sekolah sudah memiliki perpustakaan, maka perlu dilakukan pengadaan buku dan bahan-bahan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik agar peserta didik tergugah mengunjungi perpustakaan dan melakukan kegiatan membaca.

Perpustakaan umum dan taman-taman bacaan masyarakat perlu terus-menerus ditingkatkan Pemerintah, baik yang berkaitan dengan jumlah maupun kualitasnya. Lomba membaca cepat dan membaca banyak buku dapat dipertimbangkan untuk diselenggarakan karena akan dapat mendorong masyarakat untuk membiasakan dirinya membaca secara teratur. Anggota masyarakat yang banyak membaca buku secara teratur diberikan penghargaan sehingga masyarakat akan tergugah untuk berperanserta membiasakan dirinya membaca. Demikian juga inisiatif masyarakat untuk menyelenggarakan atau mengelola taman-taman bacaan masyarakat perlu mendapat dukungan dan bantuan dari pemerintah.

Kepustakaan

Arixs. 2006. Enam Penyebab Rendahnya Minat Baca. http://www.cybertokoh.com/mod.
Harian Umum Kompas. 1996. Pengembangan Minat Baca, Tanggungjawab Orangtua. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 4 Nopember 1996.

Harian Umum Kompas. 1996. Senjang, Budaya Membaca dengan Tiras Pers. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 1 Februari 1996.

Harian Umum Kompas. 1997. Dunia Pendidikan Jepang (2-Habis): Mengenal Buku dan Memupuk Minat Baca. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 1 Mei 1997.

Harian Umum Kompas. 1997. Buku Pelajaran tidak Tingkatkan Minat Baca. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 5 Mei 1997.

Mastini. 1996. Perpustakaan Nasional akan Perjuangkan Buku Bebas Pajak. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 18 September 1996.

Muslih, Muh. 2003. Budaya Membaca Masih di Awang-Awang. http://www.suaramerdeka.com/ harian/0309/03/kha1.htm.

Purba, Aprilia. 1997. Pajak Buku dan Minat Baca. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 4 Januari 1997.

Purwoko, Dwi. 1997. Minat Baca Rendah Terkait Masalah Psikologis, artikel yang dimuat di Harian Umum Kompas, terbitan tanggal 21 Juni 1997.

Santoso, Hieronymus Budi. 1996. Mewujudkan Keluarga Gemar Membaca. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 25 September 1996.

Siahaan, Sudirman. 2007. http://www.pakdirman.blogspot.com.




Rabu, 09 Januari 2008

Diklat Bahasa Inggris Guru SD

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) BAHASA INGGRIS GURU SD MELALUI SISTEM JARAK JAUH:
Reinventing Pengembangan Kompetensi Guru SD
Berbasis Belajar Mandiri (Independent Learning Based)
Oleh: Sudirman Siahaan*)
Fathur Rohim**)


ABSTRACT

Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Bahasa Inggris Guru Sekolah Dasar Sistem Belajar Jarak Jauh bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan guru Sekolah Dasar (SD) dalam mengelola pembelajaran bahasa Inggris. Program ini merupakan pendidikan dalam jabatan (in-service training) yang proses pembelajarannya menggunakan pendekatan Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ). Melalui sistem ini, para guru tidak perlu meninggalkan tugas pokok sehari-hari. Diklat Jarak Jauh bahasa Inggris ini menggunakan bahan belajar mandiri cetak (modul) yang dilengkapi dengan media audio dan video; sedangkan strategi pembelajarannya sebagian besar dilakukan peserta didik secara mandiri disertai tutorial tatap muka secara terbatas. Kompetensi yang akan dicapai melalui sistem ini setara dengan Diklat tatap muka yang telah dikembangkan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK Bahasa) secara berjenjang (dasar, lanjut, menengah, dan tinggi). Diklat Jarak Jauh bahasa Inggris guru SD ini merupakan program kerjasama P4TK Bahasa dengan Pustekkom yang bertujuan untuk (1) mempersiapkan guru SD mengajarkan bahasa Inggris dan sekaligus juga untuk (2) meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa pembelajaran bahasa asing akan lebih baik apabila dilaksanakan sejak dini. Selain itu, adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi, terutama di daerah tujuan wisata dan industri penanaman modal asing. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Inggris pada satuan pendidikan SD merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi. Artikel ini mencoba mendeskripsikan perkembangan kegiatan Diklat dan berbagai pengalaman dalam penyelenggaraannya.



----------------
*) Sudirman Siahaan adalah tenaga fungsional peneliti bidang pendidikan pada Pustekkom-Depdiknas.
**) Fathur Rohim adalah tenaga widyaiswara pada Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa (P4TK Bahasa).
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Belajar bahasa Inggris bagi young learners merupakan sesuatu yang amat krusial untuk dipahami dengan baik. Kondisi krusial itu bukan hanya karena sifat pengajaran untuk young learners yang memang berbeda dari adult learner tapi juga karena umur yang masih muda itu merupakan masa emas untuk belajar bahasa. Kesadaran tentang kedua hal ini menjadi sangat penting dan relevan untuk dimengerti sebaik mungkin dalam menjalankan strategi pengembangan dan pelatihan bahasa Inggris bagi guru Sekolah Dasar (SD) sehingga implementasinya memang memiliki sense of urgency dan seriousnes dealing with the problem. Beberapa penelitian dari pakar bahasa menunjukkan sebuah harapan besar terhadap proses pembelajaran bahasa bagi siswa SD. Krashen, Long, dan Scarcella (1982) menegaskan bahwa anak-anak yang belajar bahasa asing sewaktu masih muda melalui pajanan yang natural akan memiliki capaian atau hasil proficiency yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang mulai belajar ketika sudah dewasa. Dalam kaitan ini, beberapa SD terutama di kota-kota besar telah mengajarkan bahasa Inggris kepada siswanya. Namun, banyak guru yang ditugaskan mengajarkan bahasa Inggris bukanlah guru yang telah dipersiapkan tetapi guru yang "terpaksa" mengajar bahasa Inggris karena ditugaskan Kepala Sekolah (Panjaitan, 2007). Namun demikian proses pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang harus dipecahkan dan dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketelatenan yang tinggi. Issu yang sering muncul dalam pengajaran bahasa Inggris di SD adalah tentang rendahnya rasa percaya diri (self-confidence) anak-anak karena mereka masih merasa ada "jarak" dengan bahasa Inggris. Karena itu. apabila anak-anak diminta untuk membaca materi yang autentik atau semi autentik, dengan mudah mereka berpikir dan mengatakan 'saya tidak bisa bahasa Inggris' atau 'saya tidak tahu artinya'. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa pembelajaran dan pemerolehan bahasa asing akan lebih baik apabila dilakukan sejak usia dini. Hasil studi inilah yang telah mendorong berkembangnya pemikiran bahwa pengajaran Bahasa Inggris seyogyanya sudah dilakukan pada satuan pendidikan SD. Di samping itu, mainstream peradaban yang semakin mengglobal juga memberi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab mempersiapkan dan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu menghadapi semua tantangan perubahan yang ada di sekitarnya yang berjalan sangat cepat. Kemampuan serta keterampilan di berbagai bidang ilmu, termasuk kemampuan berbahasa asing (terutama bahasa Inggris), serta penguasaan teknologi adalah kemampuan yang harus dikuasai oleh lulusan suatu lembaga pendidikan dalam memasuki persaingan lapangan kerja, baik domestik maupun luar negeri. Pembelajaran bahasa Inggris di SD dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan komunikatif yang memberikan perhatian secara langsung kepada empat keterampilan berbahasa. Dalam penerapan pendekatan komunikatif ini, para guru harus memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang memadai dan memiliki berbagai keterampilan dalam menyajikan materi pelajaran, kreatif dalam menyiapkan materi pembelajaran, memanfaatkan media, menciptakan situasi dan kegiatan yang mendorong siswa berperan secara aktif. Sejauh ini, Diklat bahasa Inggris bagi guru SD secara tatap muka telah dilaksanakan oleh lembaga Diklat yang kompeten. Mengingat jumlah guru SD yang cukup banyak sekitar 1.335.086 orang (MONE, 2005), terbatasnya jumlah lembaga Diklat serta tenaga pendidik yang menyelenggarakan sistem Diklat tatap muka menyebabkan panjangnya rentang waktu yang diperlukan untuk menyiapkan guru SD yang kompeten dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Inggris. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan masalah kualifikasi guru SD yang sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan non bahasa Inggris dan berstatus guru kelas. Tantangan besar yang sedang dihadapi oleh Depdiknas saat ini adalah implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan khususnya yang berkaitan dengan penguasaan 4 (empat) kompetensi oleh guru yaitu kompetensi pedagogi, profesional, sosial dan kepribadian serta peningkatan kualifikasi pendidikan guru minimal Srata-1 (S-1) atau Diploma-4 (D4). Upaya penguasaan 4 kompetensi tersebut oleh guru dapat dilakukan melalui Diklat berjenjang berbasis kompetensi dengan sistem tatap muka atau jarak jauh. Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan kompetensi bahasa Inggris bagi guru SD adalah dengan menyelenggarakan Diklat dalam jabatan ( in-service training) dengan sistem jarak jauh yang memungkinkan menjangkau wilayah yang lebih luas serta sasaran yang lebih banyak. Sarana yang memungkinkan terselenggaranya pemerataan akses pendidikan adalah melalui sistem Diklat jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi pembelajaran, seperti: video conference, audio conference, e-learning, atau CD interactive. Sistem ini memberi peluang dan kemudahan untuk terjadinya transaksional didaktik antara peserta Diklat jarak jauh dengan fasilitator/tutor maupun dengan teman seprofesi dalam suasana belajar yang lebih fleksibel tanpa terikat waktu dan tempat.
2. Hakikat Pendidikan Jarak Jauh
Karakteristik utama Diklat Sistem Jarak Jauh (PJJ) yang banyak dikemukakan para ahli, antara lain adalah adanya keterpisahan antara peserta Diklat dengan pengajar/ fasilitator serta adanya pemanfaatan beragam media (Keegan, 1991). Peserta Diklat jarak jauh dituntut untuk mampu belajar atas prakarsa sendiri dengan memanfaatkan berbagai media belajar yang ada, baik media cetak maupun non-cetak. Peserta Diklat juga dapat berkomunikasi dengan institusi penyelenggara/pengelola/pengembang Diklat jarak jauh dengan menggunakan berbagai media, baik melalui surat, telepon, faksimili, surat elektronik (e-mail), maupun secara tatap muka. Institusi penyelenggara Diklat jarak jauh mengharapkan peserta Diklatnya agar dapat bersikap mandiri (independen), baik dalam mengatur waktu belajar, memahami bahan ajar, maupun dalam memperoleh informasi yang berkaitan dengan proses pembelajarannya. Di lain pihak, penelitian menunjukkan bahwa tidak semua peserta Diklat jarak jauh adalah peserta dewasa yang bermotivasi tinggi dan dapat mengatur waktu belajarnya sendiri. Dengan demikian, tidak realistis untuk mengharapkan peserta Diklat siap belajar mandiri sepenuhnya pada saat baru mulai menempuh Diklat jarak jauh. Bimbingan yang diberikan pada saat sebelum guru/calon peserta Diklat jarak jauh mendaftar dan pada tahap awal studi tampaknya dapat membantu mereka merencanakan kegiatan belajar sehingga dapat belajar dengan sukses (Robinson, 1995; Reid, 1975). Dengan demikian, institusi penyelenggara Diklat, selain harus menyediakan informasi lengkap mengenai program yang ditawarkan, dipandang perlu untuk memberikan bimbingan perencanaan akademik serta bimbingan belajar pada kegiatan tatap muka (tutorial).
3. Layanan Bantuan Belajar
Mengingat sangat beragamnya kondisi peserta Diklat jarak jauh ini, baik dari segi usia, tingkat pendidikan, kesiapan dalam belajar mandiri, kemampuan belajar, maupun fasilitas belajar yang dimiliki, maka institusi pengelola/penyelenggara dalam hal ini dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota dan LPMP harus memfasilitasi dan memberikan layanan bantuan belajar bagi guru peserta Diklat jarak jauh. Layanan bantuan belajar oleh widyaiswara bahasa Inggris atau instruktur yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah setempat membuat Diklat Sistem Jarak Jauh lebih manusiawi dalam membantu setiap peserta mencapai tujuan belajarnya. Diklat jarak jauh mempunyai 2 (dua) sistem operasional yang khas, yaitu subsistem pengembangan bahan ajar dan subsistem layanan bantuan belajar bagi peserta Diklat. Pengembangan bahan ajar mutlak diperlukan untuk terjadinya proses pengajaran, sedangkan layanan bantuan belajar diperlukan untuk membantu terlaksananya proses belajar peserta Diklat (Keegan,1991).
4. Konsepsi Pembelajaran Bahasa Inggris Sistem Jarak Jauh
Tujuan pembelajaran bahasa Inggris di SD adalah agar siswa SD menguasai 4 (empat) keterampilan berbahasa Inggris (menyimak, berbicara, membaca dan menulis) dalam berbagai konteks berdasarkan tingkat perkembangan dan minat siswa SD.
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Inggris SD meliputi:
a. Keterampilan berbahasa Inggris sederhana tingkat dasar.
b. Memakai unsur-unsur bahasa Inggris tingkat dasar yang mencakup tata bahasa, kosa kata, lafal, dan ejaan .
c. Aspek budaya yang terkandung dalam ekspresi bahasa Inggris dalam berbagai macam teks lisan dan tertulis.
Pengajaran bahasa Inggris di SD dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan komunikatif yang memberikan perhatian yang seimbang kepada empat keterampilan berbahasa.
Pendekatan komunikatif ini menekankan pada prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut:
a. Siswa mengetahui tujuan dan kegunaan dari setiap kegiatan yang dilakukan .
b. Penyajian empat keterampilan berbahasa Inggris secara terpadu seperti dalam kehidupan nyata.
c. Kegiatan pembelajaran menciptakan situasi yang mendorong terjadinya komunikasi dan interaksi.
d. Kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan siswa, pengalaman, minat, tata nilai, dan masa depan siswa sehingga lebih bermakna.
e. Kegiatan pembelajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan empat keterampilan berbahasa Inggris dalam kehidupan sehari- hari.
f. Pengembangan empat keterampilan berbahasa Inggris didukung oleh pembelajaran unsur-unsur bahasa yaitu struktur, fungsi, kosakata, lafal dan ejaan yang dilaksanakan secara terpadu dalam konteks yang bermakna.
Dalam penerapan pendekatan komunikatif, para guru dituntut untuk memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang memadai dan memiliki berbagai keterampilan dalam menyajikan materi pelajaran Bahasa Inggris secara komunikatif. Untuk itu, guru SD yang mengikuti Diklat Jarak Jauh hendaknya kreatif dalam menyiapkan bahan ajar, memanfaatkan media, menciptakan situasi dan kegiatan yang mendorong siswa menggunakan bahasa Inggris yang dipelajarinya. Atas dasar pertimbangan perlunya pembelajaran Bahasa Inggris di SD, tujuan, ruang lingkup, serta prinsip-prinsip pembelajaran Bahasa Inggris di SD seperti tersebut di atas, maka para guru SD harus disiapkan melalui pendidikan dan pelatihan berjenjang (dasar, lanjut, menengah, dan tinggi) mata pelajaran Bahasa Inggris bagi guru SD dengan sistem jarak jauh.
5. Tujuan Penyelenggaraan Diklat Jarak jauh
Secara umum, penyelenggaraan Diklat Bahasa Inggris Guru SD Sistem Jarak Jauh bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan guru sekolah dasar dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Inggris sesuai dengan standar kompetensi yang berlaku.
Secara khusus, tujuan yang akan dicapai adalah agar peserta mampu:
a. menguasai empat keterampilan dasar berbahasa Inggris (menyimak, berbicara, membaca dan menulis);
b. menyusun perangkat pembelajaran sesuai dengan GBPP/silabi;
c. memilih dam memanfaatkan sumber belajar yang tepat dalam kegiatan pembelajaran;
d. mengembangkan media pembelajaran yang sederhana sesuai kebutuhan;
e. memilih dan melaksanakan strategi pembelajaran yang tepat;
f. mengelola pembelajaran sehingga tercipta iklim belajar yang menyenangkan;
g. melaksanakan evaluasi proses dan hasil pembelajaran; dan h. melaksanakan program remedial dan pengayaan bagi siswa yang dibimbingnya.
B. Pelaksanaan Diklat Bahasa Inggris Guru SD Sistem Jarak Jauh
1. Program Diklat
Program Diklat bahasa Inggris bagi guru SD sistem jarak jauh tingkat dasar setara dengan Diklat tingkat dasar sistem tatap muka pola 140 jam pelajaran selama 6 bulan (minimal 6 kali kegiatan tutorial/layanan bantuan belajar). Sampai dengan tahun 2007, program ini telah memiliki dua angkatan yang masing-masing angkatan mencakup 10 provinsi. Tahun 2008 diproyeksikan dapat dikembangkan di 13 provinsi lainnya sehingga pada akhirnya Diklat ini akan mencakup ke 33 provinsi di Indonesia.
Ada 4 tingkat yang dirancang untuk dilaksanakan, yaitu
(a) tingkat dasar (basic level),
(b) tingkat lanjutan (pre-intermediate level),
(c) tingkat menengah (intermediate level), dan
(d) tingkat tinggi (advanced level).
Kompetensi yang diharapkan dari tingkat dasar dan lanjutan adalah bahwa guru mampu menyelenggarakan proses pembelajaran bahasa Inggris yang komunikatif, menyenangkan, produktif, dan bermakna. Selanjutnya, pada tingkat menengah, peserta Diklat lebih dipersiapkan untuk menjadi pelatih/instruktur bagi guru lain di Kelompok Kerja Guru (KKG) masing-masing dan menjadi extended resources bagi program Diklat bahasa Inggris ke depan. Pada Diklat tingkat tinggi, peserta fokus pada pencapaian tingkat kompetensi yang lebih tinggi dengan menggunakan external benchmarking; benchmarking dalam proficiency menggunakan TOEFL dan IELTS sedangkan benchmarking untuk pembelajaran menggunakan TKT (Teaching Knowledge Test).
Setiap siklus implementasi Diklat ini meliputi:
a. Umum
1) Uji Kompetensi calon peserta Diklat.
2) Pelatihan/orientasi tutor.
3) Pelatihan/orientasi pengelola.
4) Penyuluhan dan publikasi.
5) Penyusunan bahan-bahan belajar.
6) Penerimaan peserta Diklat.
7) Orientasi belajar dan pembagian bahan-bahan belajar.
b. Kurikulum/Pembelajaran
1) Kegiatan belajar mandiri dan kelompok.
2) Kegiatan belajar tutorial tatap muka.
3) Bimbingan belajar individual.
c. Layanan bantuan peserta
1) Layanan Administrasi.
2) Layanan Akademis.
3) Layanan Individual.
d. Evaluasi hasil belajar
1) Melaksanakan Tes Akhir Modul.
2) Tugas Mandiri.
3) Praktek Mengajar.
4) Melaksanakan Tes Tengah Semester.
5) Melaksanakan Tes Akhir Semester.
6) Evaluasi Akhir Program.
7) Pengumuman Kelulusan.
8) Pemberian Sertifikat.
2. Sasaran Pusat Pengembangan
Penataran Guru Bahasa yang sekarang telah berubah berdasarkan Permendiknas Nomor 8 tahun 2007 menjadi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa (PPPPTK Bahasa atau P4TK Bahasa) Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan telah mengembangkan dan melaksanakan Diklat bahasa Inggris bagi guru SD dengan sistem jarak jauh sejak tahun 2004 bekerjasama dengan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) berdasarkan Nota Kesepakatan Kerjasama Nomor 0665/C11/PP/2004 dan Nomor 0635/C6/LL/2004 pada tanggal 25 Agustus 2004 (Pustekkom dan P3G Bahasa).
Angkatan pertama Diklat tingkat dasar dimulai pada tahun 2004 dengan 10 daerah perintisan, yaitu:
a. Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara,
b. Kota Jambi, Jambi,
c. Kabupaten Solok, Sumatera Barat,
d. Kota Pekanbaru, Riau
e. Kota Bandung, Sumatera Barat,
f. Kota Surabaya, Jawa Timur,
g. Kota Bontang, Kalimantan Timur,
h. Kota Mataram, NTB,
i. Kota Depasar, Bali, dan
j. Kota Tomohon, Sulawesi Utara.
Angkatan kedua Diklat tingkat dasar dimulai pada bulan Juni tahun 2007 di 10 propinsi baru, yaitu:
a. Kota Bandar Lampung, Lampung,
b. Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung,
c. Kota Palembang, Sumatera Selatan,
d. Kota Semarang, Jawa Tengah,
e. Kota Makasar, Sulawesi Selatan,
f. Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah,
g. Kota Pontianak, Kalimantan Barat,
h. Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur,
i. Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan,
j. Kota Kendari Sulawesi Tenggara.
Selama masa perintisan, jumlah peserta Diklat per propinsi dibatasi hanya 20 orang yang penentuannya didasarkan atas hasil seleksi uji kompetensi di masing-masing daerah. Diklat jarak jauh yang dikembangkan ini pada prinsipnya mengacu dan setara dengan standar kompetensi Diklat berjenjang berbasis kompetensi yang dilaksanakan dengan sistem tatap muka, yaitu tingkat dasar, lanjut, menengah, dan tinggi.
Perintisan Diklat jarak jauh dilaksanakan secara bertahap untuk 3 (tiga) angkatan dengan jadwal sebagai berikut:
Tabel 1 (ada masalah ttp akan diusahakan tersedia) Penyelenggaraan Sistem Diklat Berjenjang Berbasis Kompetensi Bahasa Inggris Bagi Guru SD Sistem Jarak Jauh Angkatan Pertama (2005–2008) di 10 Propinsi
Tabel 2 (ada masalah ttp akan diusahakan tersedia) Penyelenggaraan Sistem Diklat Berjenjang Berbasis Kompetensi Bahasa Inggris Bagi Guru SD Sistem Jarak Jauh Angkatan Pertama (2007–2010) di 10 Propinsi
Tabel 3 (ada masalah ttp akan diusahakan tersedia) Penyelenggaraan Sistem Diklat Berjenjang Berbasis Kompetensi Bahasa Inggris Bagi Guru SD Sistem Jarak Jauh Angkatan Pertama (2008–2011) di 13 Propinsi
3. Mekanisme Penyelenggaraan Diklat
Tahap-tahapan kegiatan Diklat yang ditempuh adalah sebagai berikut:
a. Tahap Persiapan
1) Analisis Kebutuhan Diklat.
2) Penyusunan Model/Desain Diklat.
3) Pengembangan Kurikulum/Silabi Diklat.
4) Penyusunan Kisi-Kisi dan Perangkat Evaluasi.
5) Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan.
6) Pengembangan Bahan Belajar (media cetak dan non cetak).
7) Uji Coba Bahan Belajar.
8) Sosialisasi Program.
9) Studi Kelayakan.
10) Pendataan/Pendaftaran calon peserta sesuai dengan kriteria.
11) Uji Kompetensi.
12) Pengumuman Calon Peserta Diklat.
13) Pelatihan Tenaga Pengelola di tingkat propinsi dan kabupaten.
14) Pelatihan Tutor Inti dan Tutor Pendamping.
15) Penggandaan dan Pengiriman Bahan Belajar.
16) Temu Karya Nasional.
b. Tahap Pelaksanaan
1) Temu karya dan launching program Diklat di masing-masing daerah.
2) Tutorial dan layanan bantuan belajar minimal 6 (enam) kali selama 6 bulan untuk setiap jenjang Diklat di LPMP atau Dinas Pendidikan Propinsi/ kabupaten/kota.
3) Belajar mandiri dan atau kelompok.
4) Simulasi dan praktik mengajar.
5) Evaluasi formatif.
c. Tahap Pengendalian dan Sertifikasi
1) Evaluasi hasil belajar (sumatif).
2) Pemantauan dan monitoring.
3) Evaluasi program Diklat.
Peserta yang memenuhi standar kompetensi kelulusan akan memperoleh Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP) dan berhak untuk mengikuti Diklat jenjang berikutnya. Sedangkan bagi peserta yang belum berhasil akan diberikan Surat Keterangan telah mengikuti Diklat.
4. Tim Pengembang dan Pengelola
Tim Pengembang Pusat adalah P4TK Bahasa dan Pustekkom. Sedangkan Tim Pengelola/Penyelenggara Daerah adalah Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan LPMP serta Balai Tekkom (bagi Provinsi yang ada Balai Tekkom-nya).
a. Tugas dan Tanggung Jawab Tim Pengembang dan Pengelola Pusat
1) Melaksanakan studi kelayakan;
2) Melaksanakan uji kompetensi;
3) Menyusun disain Diklat tingkat dasar, lanjut, menengah, dan tinggi;
4) Mengembangkan bahan belajar (media cetak dan non cetak);
5) Mengembangkan perangkat evaluasi hasil belajar;
6) Menyusun petunjuk pelaksanaan/Standar Prosedur Operasional;
7) Melaksanakan pelatihan tutor dan tim pengelola teknis di daerah;
8) Pemantauan dan pembinaan;
9) Melaksanakan evaluasi akhir program dan menentukan kelulusan;
10) Menggandakan bahan belajar yang berupa media cetak dan non cetak (pada masa uji coba); dan
11) Mendistribusikan bahan belajar kepada peserta Diklat.
b. Tim Penyelenggara/Pengelola Daerah
1) Menetapkan calon peserta Diklat sesuai kriteria;
2) Melaksanakan evaluasi modul, tugas mandiri dan praktik mengajar;
3) Memfasilitasi kegiatan tutorial (tempat tutorial, pengadaan tutor, dan penyediaan peralatan pemanfaatan media);
4) Melatih tutor pendamping di daerah;
5) Mencetak dan menandatangani STTPL;
6) Mengkoordinasikan kegiatan evaluasi akhir program; dan
7) Menyebarluaskan model Diklat.
c. Tenaga Tutor
Pembekalan terhadap tutor dilakukan oleh Tim Pengembang dan Pengelola Pusat. Para widyaiswara/instruktur bahasa Inggris yang diusulkan oleh Kepala LPMP atau Kepala Dinas Pendidikan Provinsi diundang oleh Tim Pengembang dan Pengelola Pusat ke P4TK Bahasa untuk mengikuti lokakarya pembekalan para tutor Diklat jarak jauh.
Lokakarya ini menghasilkan
(1) Standard Prosedur Operasional (SOP),
(2) jadwal tutorial, dan
(3) program tutorial.
5. Pelaksanaan Diklat Tingkat Dasar
Secara umum, penyelenggaraan Diklat tingkat dasar angkatan pertama berjalan cukup baik. Dari 200 orang peserta Diklat, yang memenuhi syarat untuk mengikuti evaluasi hasil belajar (EHB) akhir hanya 176 orang. Dari peserta yang mengikuti EHB, hanya 80% atau 140 orang yang berhasil lulus tingkat dasar dan berhak mengikuti Diklat tingkat lanjut. Kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan Diklat lebih pada masalah komitmen tim pengelola di daerah (propinsi/kabupaten/kota) dan teknis operasional dalam pelaksanaan tutorial. Oleh karena itu, perlu peninjauan kembali format Kesepakatan Kerjasama (MOU) dengan tim pengelola dalam hal ini Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota dan LPMP serta Balai Tekkom. Kolaborasi yang sangat dinamis ini hendaknya menjadi komitmen bersama agar program penyelenggaraan Diklat jarak jauh dapat berkesinambungan dan mencapai hasil yang optimal. Untuk memfasilitasi Diklat sistem jarak jauh ini dan sebagai implikasi dari kebijakan tersebut, P4TK Bahasa bekerjasama dengan Pustekkom dalam:
a. Penyusunan perangkat lunak untuk program, yang mencakup:
(1) audio conferencing,
(2) videobroadcasting, dan
(3) videoconferencing.
b. Penulisan modul cetak Diklat bahasa sistem jarak jauh.
c. Penyelenggaraan tutorial on-line dan mailing-list.
d. Pengembangan bahan ajar suplemen berbasis Web.
e. Pengisian program tutorial dan program inovasi bahasa melalui TV Edukasi.
Sebagai langkah awal, PPPG Bahasa, Pustekkom, LPMP, dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di sepuluh provinsi telah sepakat untuk menyelenggarakan perintisan dan pengembangan model Diklat bahasa Inggris guru SD sistem jarak jauh pada tahun 2004. Kesepuluh provinsi yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 1. Diklat Jarak Jauh ini menggunakan sistem berjenjang, yaitu dari tingkat dasar (elementary), lanjutan (pre-intermediate), menengah (intermediate), sampai dengan tingkat tinggi (advanced). Diklat tingkat dasar angkatan pertama telah dilaksanakan pada tahun 2005-2006 di 10 provinsi tersebut yang berlangsung selama 6 (enam) bulan, yaitu dimulai pada bulan September 2005 hingga bulan Februari 2006 dengan jumlah peserta seluruhnya 200 guru (20 orang per provinsi). Sedangkan Diklat tingkat lanjutan angkatan pertama dimulai pada bulan September 2006 dan berakhir sampai dengan Februari 2007 selama 6 bulan dengan 6 kali tutorial tatap muka (tutorial tatap muka dilaksanakan sebulan sekali). Kegiatan tutorial tatap muka dibina oleh tutor daerah yang telah dipersiapkan melalui koordinasi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan LPMP setempat. Pada tahun 2007 ini, secara simultan akan dilakukan perluasan Diklat tingkat dasar angkatan kedua di 10 provinsi yang lain. Dalam mengimplementasikan Diklat ini, kendala yang dirasakan di daerah adalah adanya beberapa LPMP yang masih belum sepenuhnya menunjukkan dukungan terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan Diklat jarak jauh ini. Kunci suksesnya Diklat bahasa Inggris sistem jarak jauh ini adalah adanya koordinasi yang erat dari seluruh stakeholder yaitu antara LPMP, Guru, dan Dinas Pendidikan di tingkat daerah, serta dengan P4 TK Bahasa dan Pustekkom di tingkat pusat. Dalam jangka panjang, Diklat jarak jauh ini direncanakan akan menggunakan slot di TVE untuk mendukung penyampaian materi tutorial Diklat jarak jauh. Penggunaan media pembelajaran audio dan video yang sudah ada sekarang ini akan terus ditingkatkan dengan variasi multimedia serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Ada beberapa catatan untuk refkesi, yaitu: a. Peran Direktorat Jenderal PMPTK sangat dibutuhkan untuk melakukan koordinasi dan arahan terhadap LPMP sehingga memberikan dukungan yang penuh terhadap kegiatan Diklat Jarak Jauh. Dukungan LPMP ini diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk tersedianya alokasi dana pada mata anggaran DIPAnya. Dengan demikian, dukungan LPMP sebagai lembaga di daerah yang paling dekat dengan kegiatan Diklat jarak jauh ini bisa lebih proaktif.
b. Perlu pengalokasian anggaran di LPMP untuk mengadakan TOT sebagai upaya untuk menyiapkan tutor yang lebih kredibel dengan jumlah memadai di setiap provinsi. Keadaan yang demikian ini akan mendukung keberhasilan penyelenggaraan tutorial sebagai bagian tak terpisahkan dari Diklat jarak jauh sehingga proses tutorial akan lebih dapat berlangsung langgeng dan layanan bantuan peserta didik dapat dilaksanakan dengan lebih baik.
c. Kunci suksesnya Diklat bahasa Inggris sistem jarak jauh ini adalah adanya koordinasi yang erat antara LPMP, Guru, dan Dinas Pendidikan di tingkat daerah, serta dengan P4TK Bahasa dan Pustekkom di tingkat pusat.
d. Penggunaan slot di TVE sebagai salah satu bentuk supporting system diperlukan untuk mendukung penyampaian materi tutorial Diklat jarak jauh.
e. Penggunaan media pembelajaran audio dan video yang sudah ada sekarang ini perlu terus dikembangkan dengan variasi multimedia serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
f. Diklat jarak jauh ini memiliki misi dan komitmen untuk mengemban amanat dari UU guru dan Dosen serta diorientasikan dengan benchmarking standar regional dan internasional. Beberapa hal yang patut dicatat dalam penyelenggaraan Diklat Bahasa Inggris Guru SD Sistem Jarak Jauh ini adalah:
1 Bali menunjukkan antusiasme yang tinggi yang ditunjukkan dari keinginan dari daerah-daerah di luar Denpasar untuk diikutsertakan dalam kegiatan Diklat Jarak Jauh.
2 Dukungan kualitas bahan belajar yang berupa produk-produk media cetak (modul), media audio dan video mendapat apresiasi dari segenap peserta Diklat.
3 Kendala yang cukup dirasakan dalam penerapan Diklat sistem jarak jauh ini adalah adanya beberapa LPMP yang masih belum sepenuhnya menunjukkan dukungan akan keberhasilan penyelenggaraan kegiatan Diklat jarak jauh.
C. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
a. Penyelenggaraan Diklat Bahasa Inggris Guru SD Sistem Jarak Jauh mendapat respon yang positif dari para guru yang menjdai peserta Diklat karena
(1) mereka tetap dapat melaksanakan tugas utama sehari-hari mereka, yaitu membelajarkan peserta didiknya,
(2) bahan-bahan belajar yang mereka terima (bahan belajar mandiri cetak dan non cetak) dinilai sangat membantu mereka untuk memahami materi pelajaran Diklat, dan
(3) kegiatan belajar tutorial tatap muka yang diselenggarakan sekali sebulan dapat membantu mereka menyelesaikan berbagai kesulitan belajar yang mereka alami.
b. Upaya peningkatan kompetensi guru bahasa sangat besar dan membutuhkan waktu yang relatif panjang. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah pemerataan dan kesempatan bagi guru bahasa yang belum mendapat layanan Diklat berbasis kompetensi. Keadaan yang demikian menjadi tantangan bagi P4TK Bahasa dan Pustekkom untuk menunjang program percepatan/akselarasi peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) selama 10 tahun ke depan. Salah satu strategi yang dinilai potensial adalah penyelenggaraan Diklat Bahasa Inggris Guru SD Sistem Jarak Jauh.
c. Hambatan yang dirasakan paling menonjol dalam implementasi Diklat Bahasa Inggris Guru SD Sistem Jarak Jauh adalah belum bisa optimalnya pemenuhan kualitas dan disiplin timetable mengingat guru SD adalah guru kelas sehingga tidak dapat fokus pada peningkatan proficiency bahasa Inggris secara baik. Di tingkat agregratif, jumlah guru SD yang mencapai kisaran 1,3 juta membutuhkan mobilisasi sumberdaya secara besar sehingga bila tidak dijalankan secara sistematis maka akan menjadi program yang tidak ada ujungnya (never ending). Program Diklat ini merupakan upaya melakukan reinventing peningkatan kompetensi guru yang tidak melalui jalur konvensional (face-to-face training) dengan harapan dapat memberi kontribusi terhadap perbaikan dan peningkatan kompetensi guru SD khususnya dalam pembelajaran bahasa Inggris.
2. Saran-saran
a. Keberhasilan penyelenggaraan Diklat Bahasa Inggris Guru SD Sistem Jarak Jauh ini akan sangat banyak ditentukan oleh komitmen kerjasama antar berbagai lembaga, baik di tingkat pusat, di tingkat daerah (LPMP, Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota, dan Balai Tekkom), dan antara pusat dan daerah. Tim pengelola daerah diharapkan mampu memfasilitasi seluruh kegiatan Diklat baik dalam hal proses, hasil, dan sosialisasi program dan hasil Diklat ini.
b. Koordinasi tim pengelola/penyelenggara daerah dan tim pengembang pusat perlu ditingkatkan agar rancangan program Diklat bahasa Inggris guru SD sistem jarak jauh ini tidak mengalami penyimpangan/distorsi dalam pelaksanaannya. Demikian juga dengan optimalisasi penyediaan layanan bantuan belajar bagi guru peserta Diklat oleh tutor melalui pemanfaatan bahan belajar yang tersedia dan atau sumber belajar lainnya yang tersedia di lingkungan.
c. Seiring dengan berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembangunan pendidikan, maka pemanfaatan TIK ini juga perlu diintegrasikan sehingga dapat menunjang penyelenggaraan Diklat Bahasa Inggris Guru SD Sistem Jarak Jauh ini.
Kepustakaan
Ministry of National Education. (2005). Indonesia: Educational Statistics in Brief 2004/2005. Jakarta: Ministry of National Education (MONE).
Keegan, D. (1991). Foundations of Distance Education. New York: Routledge.
Panjaitan, Mutiara O. (2007). "Siapkah Bahasa Inggris Diberikan kepada Siswa Sekolah dasar?" dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Tahun Ke-13 Nomor 064 Januari 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Reid, J. Christopher dan Donald W. McLennan. (1975). Research in Instructional Television and Film. Washington, DC: U.S. Department of Health, Education and Welfare, Office of Education.
Robinson, K (1995). Visual And Auditory Modalities And Reading Recall: A Review Of The Research. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 272 840).
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Strategi Meningkatkan Minat Baca

Strategi Meningkatkan Minat Baca: Menjadikan Membaca sebagai
Kebiasaan Hidup Sehari-hari
Sudirman Siahaan1) dan Rahmi Rivalina2)


ABSTRAK


Membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) yang penting untuk dipelajari dan dikuasai oleh setiap individu. Dengan membaca, kita akan mendapatkan banyak manfaat di antaranya mengetahui perkembangan yang terjadi, memenuhi kebutuhan intelektual, spiritual dan emosional. Melalui membaca aktivitas kita akan dapat mengetahui, memahami, menafsirkan, mengingat, dan menuliskan kembali suatu informasi berdasarkan analisis pikiran kita sendiri. Dengan banyak membaca berarti akan mambantu seseorang untuk melatih kemampuannya menuangkan suatu gagasan atau pesan terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakan ke dalam sebuah tulisan. Manfaat membaca ini ternyata belum dirasakan betul oleh sebagian besar bangsa kita. Beberapa publikasi cenderung mengemukakan minat dan kemampuan membaca bangsa kita rendah. Di sisi lain, membaca merupakan jendela untuk mendapatkan pengalaman, memperbaiki wawasan, dan mempertajam daya nalar. Itulah sebabnya kegiatan membaca harus dimulai sejak usia dini yang diawali dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, gemar atau minat membaca haruslah ditumbuhkembangkan di kalangan masyarakat agar secara bertahap makin banyak masyarakat yang menjadikan kegiatan membaca menjadikan kebiasaan dan bahkan sebagai kebutuhan hidup sehari-hari. Kata-kata kunci: Membaca, informasi, media, pengetahuan. -----------------
1) Drs. Sudirman Siahaan, MPd adalah tenaga fungsional peneliti pada Pustekkom-Departemen Pendidikan Nasional.
2) Dra. Rahmi Rivalina, M.Hum adalah staf pada Pustekkom-Departemen Pendidikan Nasional.
A. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial dan berbudaya, manusia dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam segala hal, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Dalam kaitan ini, banyak cara yang dapat dilakukan. Salah satu di antaranya adalah dengan belajar melalui membaca. Agama Islam menganjurkan agar "belajar dilakukan mulai dari ayunan sampai ke liang lahat". Pentingnya kegiatan belajar melalui membaca selaras dengan pepatah yang berbunyi "tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina". Ibarat gayung bersambut, Pemerintah telah mencanangkan kegiatan belajar sepanjang hayat (lifelong learning) yang dimulai dengan Wajib Belajar (Wajar) 6 Tahun pada tahun 1984. Kemudian dilanjutkan dengan Wajar 9 Tahun pada tahun 1994. Program ini akan dilanjutkan dengan Wajar 12 Tahun Tampaklah betapa penting dan strategisnya kegiatan membaca dalam pengembangan kualitas hidup manusia karena itu kegiatan membaca hendaknya diupayakan agar secara bertahap menjadi kebiasaan dan bahkan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Bila membaca sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari, maka seseorang akan dapat dengan cepat mengetahui perkembangan yang terjadi. Selain itu, kegiatan membaca dapat mengisi waktu senggang sekaligus juga berfungsi memenuhi kebutuhan intelektual, spiritual dan emosional. Membaca juga dapat membawa seseorang ke suasana masa lalu, masa kini, masa depan dan menjadi alat berekreasi ke dunia lain. Dewasa ini, berbagai media cetak dan elektronik menyajikan beragam informasi yang melimpah kepada masyarakat luas sehingga masyarakat dapat mengikuti perkembangan yang terjadi (well-informed). Seseorang yang menguasai informasi akan menguasai berbagai aspek kehidupan. Kunci utama untuk menguasai informasi adalah membaca. Dengan banyak membaca, seseorang akan dapat mengakses berbagai informasi sehingga memiliki wawasan atau khasanah pengetahuan yang semakin luas dan sekaligus juga mengembangkan kemampuan kompetetif. Manfaat lain dari membaca adalah melatih kemampuan seseorang untuk menuangkan suatu gagasan atau pesan terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakan ke dalam sebuah tulisan. Dengan menyajikannya secara tertulis, maka pesan yang disampaikan dapat dibaca, diketahui, dan dipahami pembaca. Seseorang yang mengembangkan kebiasaan membaca, maka dampak dari kebiasaan membaca ini akan berpengaruh pada cara bernalar dan juga pada kemampuan untuk menulis. Dari penjelasan tentang penting dan strategisnya kegiatan membaca, maka yang dinilai lebih penting untuk dikaji adalah bagaimana menjadikan kegiatan membaca sebagai kebutuhan hidup sehari-hari setiap individu. Beberapa penelitian, baik yang dilakukan oleh lembaga penelitian maupun media masa tentang minat baca bangsa Indonesia, secara umum cenderung menunjukkan hasil yang rendah. Mengapa kemampuan, kebiasaan, dan minat baca bangsa Indonesia cenderung rendah? Apakah karena kesulitan menemukan buku yang tepat, harga buku yang dirasakan sangat mahal, kegiatan membaca masih belum merupakan kebutuhan hidup sehari-hari sebagaimana halnya akan sandang, pangan, dan rekreasi. Apakah keadaan yang demikian ini dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan di bidang pertelevisian atau karena dunia kerja dan lembaga pendidikan yang kurang mengkondisikan berkembangnya kebutuhan akan buku sebagai sumber informasi. Tulisan ini mencoba membahas berbagai dampak tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia dan mengidentifikasi pokok-pokok pikiran yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan minat baca.
B. Pembahasan
1. Mengapa Membaca itu Penting?
Manusia belajar melalui panca inderanya. Sebagai contoh, indera penglihatan digunakan untuk melihat suatu obyek. Obyek yang dilihat dapat berupa tulisan sehingga kita tahu artinya karena kita dapat membacanya. Obyek juga dapat berupa gambar sehingga kita dapat mendeskripsikan beberapa hal tentang gambar tersebut. Obyek yang kita lihat dapat pula berupa tayangan (video/siaran televisi). Untuk menikmati tayangan yang berupa video/siaran televisi, tidaklah lengkap jika kita hanya menggunakan indera penglihatan. Akan sangat jauh berbeda apabila kita secara stimulan menggunakan indera penglihatan dan pendengaran. Dalam kaitan ini, Marion Lawrence mengemukakan bahwa seorang anak hanya mampu mengingat 10% dari yang didengarnya, 50% dari yang dilihatnya, 70% dari yang dikatakannya, dan 90% dari yang dilakukannya (Wendyartaka, 2003). Membaca adalah salah satu cara belajar yang kelihatannya mudah tapi sulit untuk dikerjakan. Membaca merupakan sebuah aktivitas yang paling banyak memberdayakan indera lain secara bersamaan. Misalnya, ketika kita membaca buku dengan suara sedikit keras dan mengeluarkan bunyi, maka indera pendengaran akan mendengarkan dan kemudian otak mengoreksi bunyi yang keluar dari mulut. Pada waktu yang bersamaan, mata juga diharuskan untuk melihat apa yang tertera. Satu hal yang paling penting dari aktivitas tersebut adalah kemampuan otak merangsang indera-indera tersebut bekerja bersamaan. Otak berusaha untuk memahami apa yang telah kita baca dan seharusnya kita mengingat kembali apa yang telah kita baca tersebut. Untuk membantu memudahkan kita mengingat, ada baiknya kita membuat catatan sederhana atau berupa poin-poin penting tentang apa yang telah kita baca. Cara membaca seperti tersebut di atas merupakan salah satu cara belajar yang baik terutama untuk siswa (membaca, mendengar, menulis, dan mengingat kembali poin-poin yang telah dibaca). Memang benar bahwa dengan membaca, kita kemungkinan akan merasakan cepat lelah, karena membutuhkan konsentrasi yang penuh. Cepat lelah inilah yang sementara diduga menjadi faktor penyebab banyak orang menjadi kurang atau tidak menyukai kegiatan membaca. Berdasarkan jajak pendapat Kompas tentang buku yang diminati responden, Anung Wendyartaka mengemukakan bahwa sebagian besar responden lebih menyukai buku-buku fiksi, seperti novel dan buku sastra lainnya. Selain buku-buku fiksi, urutan selanjutnya yang diminati responden adalah buku agama dan buku ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Urutan buku yang diminati responden selanjutnya adalah komik, buku-buku panduan (how to), dan buku-buku non-fiksi lainnya, seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya. Melalui membaca, berbagai informasi yang tekah dan sedabf terjadi di berbagai belahan dunia dapat diketahui. Dengan banyak membaca, seseorang akan memiliki cakupan pengetahuan yang luas, kemampuam menganalisis berbagai masalah yang terjadi, kemampuan untuk melakukan antisipasi tentang hal-hal yang akan terjadi, dan kemampuan untuk melakukan klasifikasi terhadap berbagai hal yang simpang siur atau yang kurang benar.
2. Gambaran Singkat tentang Kebiasaan Membaca
Berbagai publikasi cenderung mengemukakan bahwa kemampuan dan minat baca bangsa Indonesia masih relatif rendah. Pernyataan ini sering dihubungkan dengan beberapa alasan di antaranya adalah pertumbuhan jumlah buku yang diterbitkan Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Demikian juga halnya dengan jumlah pengunjung toko-toko buku, baik untuk membeli maupun untuk sekedar melihat-lihat buku masih rendah meskipun berbagai toko buku berlokasi di pusat-pusat perbelanjaan (mall). Keadaan yang sama juga terjadi dengan pengunjung perpustakaan. Sedikit sekali jumlah orang yang menggunakan jasa perpustakaan untuk kepentingan pembelajaran. Sehubungan dengan perkembangan minat dan kemampuan membaca ini, Ki Supriyoko mengutip laporan World Bank di dalam "Education in Indonesia: From Crisis to Recovery" (Supriyoko, 1998) yang merujuk hasil studi Vincent Greanary, menyatakan bahwa kemampuan membaca siswa kelas VI SD Indonesia berada pada nilai 51,7 yaitu di urutan paling akhir setelah Filippina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5). Penelitian Supriyoko di desa-desa Galesong, Bantaeng, Tamalatea, Bisapu, di provinsi Sulawesi Selatan mendukung hasil penelitian World Bank yang mengungkapkan bahwa dari 2.000 kasus, ada 30-an (1,5%) anak lulusan SD yang tidak lancar membaca. Sementara itu, Riana mengutip hasil penelitian International Educational Achievement (IEA) pada tahun 2000 yang menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara atau terendah di antara negara-negara ASEAN. Selain itu, The Political and Economic Risk Country (PERC), lembaga konsultan di Singapura, pada akhir tahun 2001, mengungkapkan bahwa Indonesia dalam hal pendidikan berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti (Riana, 2003). Melihat paparan di atas, suka tidak suka, kita harus menerima bahwa kemampuan membaca siswa kita sangat rendah dibandingkan dangan siswa dari negara tetangga lainnya. Penelitian tersebut memang tidak menjelaskan lokasi penelitian. Bisa jadi salah satu penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa Indonesia adalah karena masih banyak juga penduduk yang buta aksara. Misalnya di Jawa Barat, jumlah masyarakat buta aksara mencapai 1,8 juta orang dan di Banten mencapai 1,4 juta dari 8 juta warganya. Meskipun upaya pemerintah dalam menuntaskan buta aksara terus-menerus dilakukan sehingga persentase jumlah penduduk buta aksara setiap tahun cenderung menurun, namun kenyataannya masih ada 18,7 juta penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang buta aksara pada akhir tahun 2002 (Riana, 2003). Ada korelasi positif antara lingkungan buta aksara dengan kemampuan membaca anak. Di samping itu, kita juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa setiap tahun, ada 250 sampai dengan 300 ribu siswa kelas 1, 2, dan 3 SD yang putus sekolah (Riana, 2003). Kemampuan membaca yang rendah tidak hanya dijumpai di kalangan siswa tapi juga di kalangan masyarakat umum. Menurut Syafik Umar, kebiasaan membaca masyarakat yang rendah dapat diketahui dari jumlah surat kabar yang dikonsumsi masyarakat. Idealnya setiap surat kabar dikonsumsi sepuluh orang (1:10). Tetapi di Indonesia, sebuah surat kabar rata-rata dibaca oleh 45 orang (1:45). Di Filippina, angkanya adalah 1:30, dan di Sri Lanka, rasionya adalah 1:38. Asumsi sementara adalah kemampuan dan minat baca yang rendah sangat erat hubungannya dengan budaya bangsa Indonesia yang mengembangkan tradisi lisan. (Pikiran Rakyat, 2004). Indikator lain tentang kebiasaan membaca yang rendah dapat dilihat dari kurangnya pengunjung perpustakaan. Perpustakaan terlihat sepi dari pengunjung bukanlah cerita baru. Pada umumnya, yang dijadikan sebagai alasan adalah ruang perpustakaan yang kurang menarik dan buku yang tersedia sangat terbatas, baik dari segi subyek maupun tahun terbit. Tampaknya membaca buku belum dirasakan sebagai suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Ada kecendrungan bahwa budaya mendengarkan, bertanya, dan berbicara lebih berkembang di kalangan masyarakat daripada membaca. Dalam kaitan ini, Dady P. Rachmanata, Kepala Perpustakaan Nasional, dengan merujuk tulisan Ki Supriyoko, mengemukakan bahwa pengunjung Perpustakaan Nasional dan perpustakaan daerah di seluruh Indonesia relatif rendah dan hanya 10% s.d 20% dari jumlah pengunjung yang meminjam buku. (Supriyoko, 2003). Rendahnya jumlah pengunjung dan peminjam buku di perpustakaan dapat menjadi cerminan bahwa kebiasaan membaca bangsa Indonesia rendah. Sedangkan kualitas sebuah bangsa sering dihubungkan dengan tinggi-rendahnya angka kebiasaan membaca atau angka melek aksara (literacy rate) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai indikator oleh UNDP (United Nations Development Program). Di Indonesia, angka melek aksara baru mencapai 88%. Di Jepang, angkanya sudah mencapai 99%. Indeks pengembangan sumber daya manusia yang ditetapkan UNDP sebagaimana yang dikutip oleh Ki Supriyoko mengungkapkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 112 dari 174 negara. Di dalam daftar UNDP ini, Indonesia berada di bawah Vietnam (109), Thailand (74), Malaysia (58), dan Brunei Darussalam (31) (Supriyoko, 2003). Sebaliknya, hasil jajak pendapat Kompas di 15 kota besar di Indonesia sebagimana yang dikutip Wendyartaka mengungkapkan bahwa lebih dari dua pertiga atau sekitar 70% dari jumlah responden 1.084 mempunyai kebiasaan membaca buku, minimal seminggu sekali. Responden yang mempunyai kebiasaan membaca buku setiap hari mencapai lebih dari seperempat atau sekitar 28%. Sementara itu, 35% responden lainnya meluangkan waktu membaca buku satu sampai tiga kali dalam seminggu. Kebiasaan membaca orang kota ternyata cukup menggembirakan, tidak seperti anggapan yang berkembang selama ini tentang minat baca bangsa Indonesia. Meskipun responden sudah mempunyai kebiasaan membaca buku tapi jumlah waktu yang digunakan untuk kegiatan membaca buku masih relatif kecil. Hanya sekitar 51% yang menghabiskan waktu kurang dari 1 jam setiap harinya untuk kegiatan membaca. Responden yang membaca buku antara satu sampai dengan dua jam per hari baru sekitar 39% (Wendyartaka, 2005).
3. Menjadikan Membaca sebagai Kebiasaan Hidup Sehari-hari
Membaca adalah sebuah proses linguistik. Untuk dapat membaca dengan baik, pembaca harus memahami sintaks serta semantik bahasa dan harus memikili pengetahuan tentang abjad dan memiliki kesadaran tentang aspek-aspek tertentu dari struktur linguistik bahasa. Ada beberapa pertanyaan yang muncul dari paparan di atas yaitu, mengapa anak-anak mengalami gangguan membaca? Apa yang perlu dipersiapkan agar belajar membaca mendapatkan prioritas dalam pendidikan? Faktor-faktor apa saja yang kemungkinan dapat dijadikan pertimbangan untuk menumbuh-kembangkan minat dan kemampuan baca anak Indonesia? Bagaimana mempersiapkan anak-anak yang berada pada lingkungan masyarakat yang buta aksara? Bagaimana sekolah dapat mengindividualisasikan pengajarannya untuk anak-anak yang datang dari keluarga buta aksara atau dari rumah dengan dukungan yang sedikit atau buruk terhadap membaca? Berikut ini akan dicoba dibahas beberapa upaya untuk menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan.
a. Keluarga Suka Membaca
Belajar membaca harus dimulai dari usia dini. Di rumah, anak harus mulai diperkenalkan dengan buku-buku yang relevan dengan usianya. Meskipun mereka belum bisa membaca tapi dapat mengajak mereka menyenangi buku dengan menceritakan dongeng melalui gambar-gambar yang ada di dalam buku. Ada baiknya juga bila suatu kali anak-anak diminta untuk menceritakan kembali apa yang telah mereka ketahui atau dengarkan. Tujuannya adalah untuk melatih daya ingat anak. Bagi keluarga yang telah memiliki lingkungan membaca, maka menumbuh-kembangkan kebiasaan membaca tidak menjadi terlalu sulit. Tetapi, bagaimana dengan anak-anak dari di lingkungan keluarga yang buta aksara? Penelitian etnografik menunjukkan secara jelas bahwa kemiskinan bukan faktor penentu utama untuk persiapan baca-tulis yang diperoleh anak di rumah (Adams, 1990). Yang paling menentukan adalah kualitas kegiatan baca-tulisnya. Oleh karena itu, lingkungan yang miskin pun dapat mempersiapkan anak untuk belajar membaca di sekolah dengan baik selama mereka mempunyai buku untuk dibaca dan selama orangtua bersedia membacakan buku kepada anaknya. Tentu saja ini merupakan tantangan besar di negara-negara yang besar/tinggi jumlah orangtua yang buta aksara dan sedikit sekali buku yang tersedia. Perkembangan baca-tulis merupakan tugas nasional, yang akan mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sosial negara. Tantangan terbesar dalam meningkatkan kemampuan baca-tulis tampaknya terletak pada kurangnya bahan bacaan yang tepat, baik di sekolah maupun di rumah, dan kurangnya jumlah buku khusus untuk anak anak. Kalaupun kemiskinan bukan merupakan faktor penentu utama kesiapan baca-tulis (Lyster, 2007) menemukan bahwa pendidikan ibu merupakan prediktor penting untuk perkembangan kemampuan membaca anak. Pengaruh Genetik pada tingkat tertentu menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian Lyster, sehingga hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan ibu mungkin dapat menjadi bagian dari alat ukur konteks linguistik yang diciptakannya bagi anaknya. Bagaimanakah ibu yang berlatarbelakang berpendidikan lebih tinggi berkomunikasi secara linguistik dengan anaknya dibandingkan dengan ibu yang kurang berpendidikan? Apakah mereka membacakan buku untuk anaknya lebih sering atau dengan cara yang berbeda dari ibu yang kurang berpendidikan? Apakah pencegahan gangguan membaca sebaiknya dimulai secara tidak langsung dengan mendidik orangtua? Penelitian yang dilakukan oleh berbagai ahli, seperti: Whitehurst, Epstein, Angell, Payne, Crone dan Fischel sebagaimana yang dikutip oleh Lyster (Lyster, 2007) menunjukkan bahwa mendidik orangtua dari masyarakat sosio-ekonomi rendah tentang cara berinteraksi dengan anaknya pada saat mereka membacakan buku untuk mereka, berdampak positif terhadap perkembangan baca-tulis anak. Hasil penelitian lain sebagaimana yang ditulis Lyster menunjukkan bahwa tingkat melek aksara orangtua berperan penting dalam perkembangan membaca anak. Dalam kaitan ini, prediktor terkuat tentang kemampuan membaca dan pengetahuan kosa kata pada keluarga berpendapatan rendah adalah lingkungan melek aksara di rumah, pendidikan ibu, tingkat ekspektasi ibu terhadap pendidikan anaknya, dan pendidikan ayah (Lyster, 2007). Tinggi rendahnya minat ibu terhadap baca-tulis berkorelasi signifikan dengan perkembangan kemampuan membaca anak. Menurut Chall dan rekan-rekannya, sebagaimana yang dirujuk oleh Lyster (Lyster, 2007), ekspektasi orangtua dan minatnya terhadap aktivitas sekolah anaknya merupakan faktor terpenting, tidak hanya untuk perkembangan kemampuan membaca tetapi juga untuk perkembangan semua mata pelajaran sekolah. Ekspektasi dan keterlibatan orangtua dalam pekerjaan sekolah anaknya harus dimotivasi. Kurangnya dukungan dan keterlibatan orangtua dalam masalah sekolah anak lebih umum terjadi di negara-negara berkembang dan karenanya harus menjadi perhatian yang serius di beberapa negara. Bila seorang anak sudah mulai memasuki usia Sekolah Dasar, maka anak harus betul-betul merasakan bahwa lingkungan sekolah adalah lingkungan kedua sebagai tempat membaca setelah lingkungan rumah. Orangtua harus sering membantu anak dalam memahami bacaan, meminta anak kembali menjelaskan apa yang telah dibaca sehingga anak benar-benar dapat merasakan bahwa ia bisa membaca dan ini akan merangsang anak untuk mempunyai kepercayaan diri dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Di sisi lain, bagaimana dengan kondisi keluarga yang masih memikirkan sulitnya memenuhi kebutuhan makan? Sehari-harinya mereka hidup di jalan dan orangtua mereka bekerja. Bila sudah sampai di rumah, mereka langsung tidur dan tidak mengenal aktivitas yang harus dilakukan anak yang sekolah. Ada beberapa cara meningkatkan minat baca anak. Salah satu di antaranya adalah yang dimulai dari lingkungan rumah tangga atau keluarga. Dalam kaitan in, yang perlu dilakukan antara lain adalah (1) kebiasaan orangtua untuk membacakan cerita/dongeng yang ada di buku pada saat sebelum tidur atau sewaktu santai, (2) kebiasaan orangtua untuk mengisi waktu senggang atau santai di rumah dengan kegiatan membaca, (3) kebiasaan orangtua menghadiahkan buku sebagai kado ulang tahun anak, (4) kebiasaan orangtua membeli buku/majalah, (5) kebiasaan orangtua mengajak anak ke toko-toko dan pameran buku, (6) Kebiasaan orangtua menjadikan jam-jam tertentu sebagai waktu baca keluarga, dan 7) membiasakan membaca buku setiap hari. Waktu terbaik untuk mulai membiasakan anak bergaul dengan buku adalah pada masa usia sangat dini. Banyaknya pengalaman dengan bahasa lisan dan bahasa tulis, dari masa bayi hingga awal masa kanak-kanak, sangat mempengaruhi keberhasilan anak dalam membaca di masa-masa selanjutnya. Bahkan ketika anak belum dapat membaca, mereka belajar dari orang yang membaca untuk mereka. Kegiatan orangtua menurut Burns, Friffin, dan Snow sebagaimana yang dikutip Lyster mengemukakan bahwa membacakan buku kepada anaknya di rumah dilihat sebagai persiapan yang sangat penting bagi anak dalam menghadapi tantangan pengajaran membaca di sekolah. Persiapan ini akan sangat efektif bila orangtua melakukan tiga hal, yaitu: (1) mengembangkan teks, (2) merujuk pada pengalaman anak itu sendiri, dan (3) menyela kegiatan membaca dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan (Lyster, 2007).
b. Sekolah Membiasakan Siswa Membaca
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menghadapi kesulitan terbesar dalam membaca di kelas-kelas rendah Sekolah Dasar (SD) adalah mereka yang mulai bersekolah dengan keterampilan verbal yang kurang tentang pemahaman fonologi, pengetahuan abjad yang kurang, dan pemahaman yang kurang tentang pentingnya membaca, dan cara-cara membaca sebagaimana yang dikutip oleh Lyster. Oleh karena itu, untuk mencegah anak mengalami resiko tinggi sulit membaca, maka perlu dilakukan pengayaan lingkungan pra-sekolah dan pengajaran yang baik di kelas-kelas rendah SD. Upaya-upaya yang demikian inilah yang dapat menjadi penentu keberhasilan di bidang membaca dan menulis. Tidak ada waktu sepenting tahun-tahun pertama masa kehidupan dan masa sekolah anak. Di berbagai negara dengan jumlah orangtua buta aksara yang tinggi dan mempunyai sedikit pengetahuan tentang cara terbaik mempersiapkan anaknya untuk belajar membaca di sekolah, maka sekolah menghadapi kesulitan atau tantangan besar untuk membelajarkan para anak didiknya. Bagaimana caranya agar anak dari keluarga yang buta aksara dapat dipersiapkan secara baik untuk sekolah sehingga mereka tidak terlalu sulit mengikuti pelajaran membaca? Atau bagaimana sekolah dapat mengindividualisasikan aksara huruf atau dari rumah dengan dukungan yang sedikit atau buruk terhadap kesiapan anak belajar membaca? Membaca berfungsi sebagai alat untuk belajar. Membaca adalah kegiatan yang mencakup 4 komponen, yaitu: pembaca, teks, strategi, dan kelancaran. Strategi adalah cara-cara yang digunakan pembaca untuk mencapai tujuan dalam membaca. Kelancaran ialah kemampuan seseorang membaca teks dengan kecepatan tertentu sehingga berhasil mencapai tingkat pemahaman yang cukup. Gabungan dari pembaca, teks, strategi, dan kelancaran inilah yang disebut membaca (Anderson, 2003). Guru dapat melakukan berbagai cara agar anak selalu membaca di sekolah. Untuk anak yang masih duduk di kelas 1 sampai dengan 3, mungkin mereka hanya dimintai untuk menceritakan dan menulis apa yang dilihat dan dirasakan pada waktu pergi ke sekolah. Sedangkan anak yang sudah kelas 4 dan 5, mereka sudah harus membaca buku tambahan di samping harus membaca buku pelajaran. Anak-anak sudah harus dijadwalkan untuk membaca buku-buku sastra, atau yang sesuai dengan minatnya. Kegiatan ini harus dilanjutkan ke kelas berikutnya dengan beban kegiatan yang disesuaikan agar anak-anak memiliki kemampuan memahami kehidupan dan perasaan orang lain. Peneliti sastra untuk anak internasional, Riris K. Toha Sarumpaet, mengatakan bahwa sastra adalah satu dunia yang menawarkan keutuhan yang dapat mengerakkan jiwa dan rasa, yang dapat mengubah manusia menjadi lebih halus dan peka. Setiap kitab dalam sastra menawarkan pesan moral. Moral itu terjalin menjadi jiwa cerita, menjadi nafas, ucapan, dan perilaku para tokohnya. "Itulah sebabnya, buku yang bernilai sastra selalu dapat memberikan ajaran yang baik yang dapat memperkaya batin manusia seperti yang dikutip oleh I Nyoman Suaka (Suaka, 2004). Para siswa yang ditugaskan membaca buku tambahan harus membuat ringkasan dan mampu menceritakan kembali di depan kelas apa yang mereka baca ataupun menjawab pertanyaan dari guru dan sesama siswa seputar isi buku yang dibaca. Bagi yang bisa menjawab atau menceritakan dengan baik, bakal dapat "stamp" di bagian belakang buku harian anak yang memang disediakan untuk catatan buku yang sudah dibaca. Di akhir semester, diumumkan 10 anak pembaca buku terbanyak dan mereka akan dapat hadiah. Cara ini terbukti efektif sekali memancing minat baca anak-anak sehingga mendorong anak-anak berlomba membaca utk mendapatkan sebuah "stamp". Sehubungan dengan hal tersebut di atas, para siswa bisa berlatih menulis bagaimana caranya membuat ringkasan dan bercerita di depan teman-temannya. Dengan cara ini, sengaja atau tidak, atau warung internet anak-anak akan mengunjungi perpustakaan sekolah, perpustakaan umum untuk mencari berbagai referensi baru untuk mereka baca. Perpustakaan sebagai jantung sekolah dengan koleksi buku yang ada akan terasa sangat bermanfaat. Upaya yang demikian ini merupakan motivasi yang menjadi langkah awal positif untuk menggerakkan kemauan siswa untuk membaca. Pada saat anak-anak menunggu pembagian rapor, kegiatan sekolah akan dapat bertambah misalnya dengan menyelenggarakan lomba membuat ringkasan buku dan lomba menceritakan kembali apa yang telah dibaca. Bedah buku merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengkondisikan para siswa untuk membaca buku. Guru menentukan buku yang akan dibahas, siswa yang akan menyajikan pendapatnya tentang buku yang akan dibahas, dan siswa yang akan menyampaikan komentar terhadap buku yang dibahas. Kerjasama antara orangtua dan guru dalam mengkondisikan agar anak gemar membaca perlu ditingkatkan. Di sekolah, peran guru sangat besar dan menentukan agar anak gemar membaca. Guru dapat memulai atau melanjutkan upaya membiasakan para siswa membaca melalui berbagai kegiatan sebagai pengisi waktu luang. Ada dugaan bila kebutuhan emosional seorang anak bisa terpenuhi maka diharapkan tawuran dan kenakalan remaja bisa berkurang.
c. Kampanye Pentingnya Kebiasaan Membaca
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengkampanyekan pentingnya membaca. Beberapa di antara upaya kegiatan kampanye (sosialisasi) peningkatan minat baca masyarakat adalah: (1) pada tanggal 5 Maret 2004, presiden Megawati Soekarnoputri meresmikan secara serentak 50 rumah baca yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kegiatan yang dipusatkan di Rumah Baca Pesisir di Kompleks SDN Pesisir Lama I, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon, Jawa Barat. Kegiatan ini menandai dimulainya "gerakan" membaca masyarakat di rumah-rumah baca yang dibangun pemerintah (2) penyelenggaraan Hari Buku, (3) Hari Kunjung Perpustakaan, dan kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada pengembangan minat baca dilakukan secara rutin setiap tahun. Sosialisasi dan koordinasi kegiatan serupa kembali digelar di kantor Gubernur Bali, oleh Kepala Perpustakaan Nasional, Dody P. Rachmanta, dengan tema ''Tingkatkan Minat Baca, Biasakan Beri Buku bukan Materi'' (Suaka, 2004). Penggunaan media masa cetak dan elektronik untuk mengkampanyekan pentingnya kegiatan membaca. Dengan filler yang ditayangkan berulang-ulang di media TV diharapkan akan dapat mendorong masyarakat untuk membiasakan diri membaca. Kampanye melalui melalui media masa hendaknya dilanjutkan dengan berbagai upaya konkrit, misalnya: mendorong masysrakat untuk mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) pada tingkat Kelurahan/Desa dan jika perlu sampai ke tingkat RT/RW. Dalam hal ini, peran Pemerintah sangat diperlukan. Di samping itu, berbagai pusat-pusat perbelanjaan "diwajibkan untuk mendirikan pojok baca". Para pengunjung dapat menggunakan pojok-pojok baca ini sewaktu mengunjungi pusat perbelanjaan. Pemberian penghargaan kepada Desa/Kelurahan yang berhasil menggerakan warganya untuk gemar membaca melalui Taman Bacaan Masyarakat. Desa/ Kelurahan yang warganya gemar membaca melalui Taman Bacaan Masyarakat perlu diisi dengan bahan bacaan berupa buku, majalah, koran, komik melalui penggalangan prakarsa masyarakat, menjalin kerjasama dengan berbagai penerbit dan perpustakaan.
C. PENUTUP
1. Simpulan
Kegiatan membaca sangat penting dan strategis dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan global yang kompetitif. Itulah sebabnya mengapa kebiasaan membaca dimulai dari lingkungan keluarga dengan melakukan berbagai kegiatan, seperti membacakan buku, menyediakan buku-buku bergambar, mengajak anak ke toko buku dan pameran buku, dan menghadiahkan buku sebagai kado ulang tahun. Kemudian, kegiatan membaca yang telah dimulai di lingkungan keluarga dilanjutkan oleh guru di sekolah melalui penugasan membaca buku secara teratur. Kegiatan yang demikian ini dimaksudkan untuk membiasakan siswa membaca. Caranya dapat saja melalui wajib penugasan baca buku dan presentasi, atau bedah buku. Selain itu, sosialisasi tentang pentingnya kegiatan membaca melalui berbagai media massa menjadi kondisi yang akan dapat menumbuhkembangkan kegemaran membaca masyarakat. Upaya yang sama yang telah dilakukan melalui pengembangan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) secara bertahap akan dapat juga menumbuhkembangkan kebiasaan masyarakat membaca. Pada akhirnya, berbagai upaya yang dilakukan, baik secara mikro di lingkungan keluarga maupun makro oleh pemerintah dan masyarakat tentunya akan dapat menjadikan kebiasaan membaca sebagai salah satu kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat.
2. Saran-saran
Dari beberapa kesimpulan tersebut di atas, peran orangtua sangat menentukan dalam menumbuhkembangkan kegemaran membaca bagi anak-anak. Karena itu, para orangtua disarankan untuk menjadi model yang mempraktekkan kebiasaan membaca di keluarga. Acara "Keluarga Membaca Bersama" perlu dilakukan orangtua agar kegemaran membaca anak dapat tumbuh dan berkembang. Perlu dilakukan penelitian tentang minat atau kebiasaan membaca masyarakat pada umumnya dan para siswa khususnya untuk mengetahui perkembangan minat baca masyarakat Indonesia. Di samping penelitian, dipandang perlu menggerakkan masyarakat untuk menyadari pentingnya kebiasaan membaca. Berbagai bentuk kegiatan dapat dilakukan, misalnya: lomba membaca cepat, bedah buku, story telling atau membuka taman-taman bacaan di tempat-tempat keramaian atau pusat-pusat perbelanjaan, pemberian penghargaan kepada desa/ kelurahan maupun individu-individu yang telah memperlihatkan dedikasinya di bidang pengembangan kebiasaan membaca masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, M.J. (1990). "Beginning to read: Thanking and Learning about Print" dalam Solveig-Alma H. Lyster, Bahasa dan Membaca: Perkembangan dan Kesulitannya (sumber dari internet yang diakses pada Juni 2007: http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Bahasa dan_Membaca.php).
Anderson, Neil. (2003). "Reading" dalam David Nunan (ed.): Practical English Language Teaching Reading. New York: McGraw Hall.
Anung, Wendyartaka. (2005). "Minat Baca Masyarakat terhadap Daya Beli" dalam Harian Umum Kompas, Sabtu, 19 Februari 2005 Lyster, Solveig-Alma H. Bahasa dan Membaca: Perkembangan dan kesulitannya. <http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Bahasa_dan_Membaca.php>
Riana, Deny. (2003). "Perpustakaan, Buku, dan Minat Baca" dalam Harian Umum Republika, 24 Januari 2003.
Simbolon, Tony. (2006). Berbudaya Baca Menuju Insan Cerdas, Pintar, Terampil dan Bermoral (tidak diterbitkan).
Stanovich, K.E. (1980). "Toward An Interactive Compensatory Model of Individual Differences in The Development of Reading Fluency" dalam Reading Research Quarterly, 16: 32-71.
Suaka, I Nyoman. (2004). "Sumbangan Sastra terhadap Minat Baca" dalam Bali Post, 12 Desember 2004.
Umar, Syafik. (2004). "Minat Baca di Indonesia Sangat Rendah" dalam Harian Pikiran Rakyat, 08 Maret 2004. Supriyoko, Ki. (2003). "Minat Baca dan Kualitas Bangsa" dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, 23 Maret 2003.




bila menghendaki artikel selengkapnya silakan menghubungi email: pakdirman@yahoo.com