Senin, 17 Maret 2008

media terintegrasi

Media Terintegrasi: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya

dalam Kegiatan Pembelajaran di SMP Terbuka

Drs. Sudirman Siahaan, MPd*)

Abstrak

A medium has its own potentials and characteristics. The potentials and characteristics of each medum makes the different among media. Every medium is unique because each medium is only good or appropriate for presenting a certain type of learning materials. There will be a synergistic force if two or more media are integrated to present a subject taking into a consideration of the characteristics and potentials of each medium. The integrated media meant in this article is between the printed self-learning (module) and audio cassette media used for English subject in the Open Junior Secondary School (Sekolah Menengah Pertama Terbuka or SMP Terbuka) since 2000/2001. This integrated media model was piloted in 6 locations of SMP Terbuka in five provinces, namely: (1) West Java, (2) Central Java, (3) East Java, (4) South Sumatera, and (5) West Nusa Tenggara. Why is this model being introduced in teaching English in SMP Terbuka. The fact was that the difficulty to increase the students’ progress in leaning English. Among some other factors causing this difficulty was that English is treated as a new subject and alien for SMP Terbuka students, the pronunciation and spelling is different, and the scarcity for students to listen to the voices of the English native speakers. The main learning materials for SMP Terbuka students is a module. Other media, such as audio cassettes, sound slides, and VCDs are supporting ones. The SMP Terbuka students learned English through modules and audio cassettes separately because each of these media is independent. The tendency of students were to learn English mostly from their modules and had hardly utilized the audio cassettes. These are some reasons why Pustekkom initiated to develop a model of learning English through integrated media in SMP Terbuka.

Kata-kata Kunci: Media pembelajaran terintegrasi, SMP Terbuka, Tempat Kegiatan Belajar (TKB), Sekolah Induk.

---------------------

*) Drs. Sudirman Siahaan, MPd adalah tenaga fungsional peneliti bidang pendidikan pada Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM) Departemen Pendidikan Nasional.

A. Pendahuluan

Mengapa media terintegrasi? Kecenderungan yang pada umumnya berkembang adalah pengembangan dan pemanfaatan media secara tunggal/individual atau yang berdiri sendiri-sendiri. Kecenderungan ini didasarkan atas pemikiran bahwa masing-masing jenis media memiliki potensi atau karakteristiknya sendiri-sendiri. Namun, potensi yang dimiliki oleh masing-masing jenis media jika diintegrasikan sedemikian rupa dengan tetap memperhatikan potensi dan karakteristiknya, maka hasilnya tentu akan lebih baik daripada digunakan secara sendiri-sendiri. Keterbatasan media yang satu dapat ditutupi oleh kelebihan media lain. Karena itu, berbagai lembaga pendidikan atau pelatihan di berbagai negara telah melakukan pengembangan dan pemanfaatan media terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran.

Memperhatikan pengalaman dan hasil yang dicapai oleh berbagai lembaga pendidikan atau pelatihan dalam mengembangkan dan pemanfaatkan media terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran, maka berbagai lembaga pendidikan atau pelatihan mencoba menerapkan pengembangan dan pemanfaatan media terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran. Dalam kaitan ini, Departemen Pendidikan Nasional melalui Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan telah mengembangkan media terintegrasi untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran di Sekolah dasar (SD) pada tahun 1992, di SMP Terbuka untuk pelajaran bahasa Inggris pada tahun 2001, dan kemudian menyusul di SMA Terbuka untuk pelajaran bahasa Inggris sejak tahun 2004.

SMP Terbuka dan SMP biasa (reguler) hanya berbeda dalam hal strategi kegiatan pembelajaran yang diterapkan. Sebagaimana diketahui bahwa strategi pembelajaran yang diterapkan di SMP biasa (konvensional) adalah sepenuhnya bersifat tatap muka. Sedangkan, strategi pembelajaran yang diterapkan di SMP Terbuka pada umumnya adalah bersifat mandiri yang pada umumnya dilaksanakan di Tempat Kegiatan Belajar (TKB). Karena peserta didik dan guru berada secara terpisah dalam kegiatan pembelajaran (Haryono, dkk., 2004). Kalaupun dilaksanakan kegiatan pembelajaran secara tatap muka di SMP Terbuka, itu hanya sebagian kecil saja yaitu untuk kepentingan tutorial yang dilaksanakan sekali setiap minggunya di SMP Negeri yang ditunjuk sebagai Sekolah Induk SMP Terbuka.

Memperhatikan pengalaman berbagai negara dan institusi pendidikan yang telah berhasil dalam mengembangkan dan memanfaatkan media terintegrasi untuk kegiatan pembelajaran, maka tulisan ini mencoba membahas tentang pemanfaatan media terintegrasi untuk pelajaran bahasa Inggris di SMP Terbuka. Fokus pembahasan di dalam tulisan ini diawali dari konsepsi tentang media terintegrasi sampai dengan pemanfataannya dalam kegiatan pembelajaran di SMP Terbuka.

B. Media Terintegrasi dalam Kegiatan Pembelajaran

Istilah media pembelajaran mencakup 2 hal, yaitu media dan belajar atau pembelajaran. Media atau medium secara sederhana dapat dikatakan sebagai perantara atau pengantar. Beranjak dari pemahaman yang sederhana ini dapatlah dikemukakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan pesan/informasi dari sumber kepada penerima. Sedangkan istilah belajar atau pembelajaran merupakan suatu proses atau interaksi seseorang dengan sumber belajar yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa media pembelajaran merupakan wadah yang digunakan untuk menyajikan materi pembelajaran. Lebih jauh, Schramm mengatakan bahwa media pembelajaran merupakan perpanjangan dari fungsi dan peranan guru” (Schramm, 1977).

Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa media pembelajaran merupakan wadah atau wahana yang digunakan (oleh guru, instruktur, dosen, widyaiswara) untuk menyajikan pesan/materi pembelajaran (kepada peserta didik). Dengan demikian dapat kita katakan bahwa TV, radio, dan komputer merupakan wahana fisik (physical means) yang dapat digunakan untuk menyajikan materi pembelajaran. Dalam kaitan ini, yang perlu disiasati adalah bagaimana memilih dan memanfaatkan media pembelajaran dengan baik sehingga kegiatan pembelajaran menjadi kegiatan yang menyenangkan dan yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar peserta didik.

Pada perkembangan awal, media diartikan hanya sebatas alat bantu dalam kegiatan belajar-mengajar, yaitu berupa sarana yang dapat memberikan pengalaman audiovisual kepada peserta didik sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar, membuat konkrit konsep yang abstrak, dan mempertinggi daya serap atau retensi belajar peserta didik. Dalam kaitan media sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, Rahardjo merujuk pemikiran Dale yang merumuskan klasifikasi pengalaman belajar dari tingkat yang paling konkrit ke tingkat yang paling abstrak (Rahardjo, 1984). Lebih jauh, Raphael Rahardjo mengemukakan bahwa media pembelajaran merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang mempunyai nilai-nilai praktis berupa kemampuan/keterampilan untuk:

1. membuat konkrit konsep yang abstrak, misalnya untuk menjelaskan sistem peredaran darah;

2. membawa obyek yang berbahaya atau sukar didapat ke dalam lingkungan belajar, seperti: binatang-binatang buas, atau penguin dari kutub selatan;

3. menampilkan obyek yang terlalu besar, seperti pasar, candi borobudur;

4. menampilkan obyek yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, seperti: mikro organisme;

5. mengamati gerakan yang terlalu cepat, misalnya dengan slow motion atau time-lapse photography;

6. memungkinkan peserta didik berinteraksi langsung dengan lingkungannya;

7. memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi bagi pengalaman belajar peserta didik;

8. membangkitkan motivasi belajar peserta didik;

9. menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut kebutuhan; atau

10. menyajikan pesan atau informasi belajar secara serempak, mengatasi batasan waktu maupun ruang.

Selanjutnya, istilah media pembelajaran terintegrasi (untuk selanjutnya akan disebut sebagai media terintegrasi) yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah terbatas pada media cetak mandiri (modul) dengan media kaset audio untuk pelajaran bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP Terbuka). Sekalipun dirancang untuk peserta didik SMP Terbuka, namun tidak menjadi masalah apabila digunakan untuk peserta didik SMP reguler.

1. Mengapa Media Cetak Mandiri (Modul)?

Penggunaan bahan belajar mandiri (modul) cetak merupakan bahan belajar utama pada sistem pendidikan terbuka/jarak jauh (termasuk SMP Terbuka) yang sekaligus juga merupakan salah satu karakteristik umum pada kebanyakan institusi penyelenggara pendidikan terbuka/jarak jauh (Ozkul, 2004). Berbagai usaha yang dilaksanakan untuk memanfaatkan media cetak dan media penyiaran secara terintegrasi pada pendidikan terbuka/jarak jauh telah dimulai pada tahun 1920 (Demiray, 2004). Penemuan teknologi cetak telah mendorong para pengelola pendidikan terbuka/jarak jauh untuk memanfaatkannya bagi kepentingan kegiatan pembelajaran peserta didiknya. Dengan ditemukannya teknologi cetak dan penyiaran pada abad ke-20 telah memungkinkan manusia mengembangkan berbagai metode baru dalam berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka (Dodds, 1983).

Beberapa karakteristik bahan belajar mandiri termasuk bahan belajar mandiri cetak yang disebut modul antara lain adalah:

a. Self-learning, yaitu bahan belajar yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dipelajari secara mandiri oleh peserta didik, baik secara individual maupun dalam kelompok-kelompok kecil;

b. Self-explanatory, yaitu bahan belajar yang dirancang sedemikian rupa sehingga berbagai penjelasan yang dibutuhkan peserta didik untuk memahami materi pelajaran telah terintegrasi di dalam bahan belajar;

c. Self-contained, yaitu bahan belajar yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dipelajari oleh peserta didik secara tuntas karena semua materi pelajaran yang berkaitan dengan topik bahasan telah diuraikan dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar tuntas; dan

d. Small chuncks, yaitu bahan belajar yang dirancang sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penggalan-penggalan kecil (small chuncks) yang memungkinkan peserta didik dapat mempelajarinya secara mandiri dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama dan tidak menimbulkan kebosanan.

Dengan bahan belajar mandiri cetak (modul) memungkinkan peserta didik program pendidikan terbuka/jarak jauh dapat belajar di mana saja (wherever), kapan saja (whenever), dan sesuai dengan kecepatan belajarnya (pace of learning). Dengan demikian, kegiatan pembelajaran pada pendidikan terbuka/jarak jauh bersifat sangat luwes (flexibility in learning). Di berbagai negara yang menyelenggarakan program pendidikan terbuka/jarak jauh, teknologi/media cetak masih tetap saja digunakan dan bahkan tetap dijadikan sebagai bahan belajar utama untuk dipelajari peserta didik. Berbagai media lainnya yang juga dikembangkan hanya berfungsi sebagai bahan belajar penunjang.

2. Mengapa Media Kaset Audio?

Dari pengalaman berbagai negara dan institusi yang menyelenggarakan pelajaran bahasa Inggris, media terintegrasi yang banyak dikembangkan adalah antara media siaran radio dan media cetak. Penggunaan siaran radio untuk menyajikan materi pembelajaran pada pendidikan korespondensi (delivery system) baru dimulai pada tahun 1916 (Demiray dan Isman, 2004). Penggunaan siaran radio juga telah dilakukan untuk membantu guru-guru kelas di Sekolah Dasar (radio-based instruction) di lingkungan Departemen Pendidikan Inggris pada pertengahan tahun 1920-an (Kenworthy, 1991). Penggunaan siaran radio untuk kepentingan pendidikan/pembelajaran secara meluas di berbagai negara telah dimulai sejak tahun 1925.

Sebagai contoh, China telah menggunakan siaran radio di dalam sistem pendidikannya sejak tahun 1929. Selain itu, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia telah memanfaatkan siaran radio untuk menunjang kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah yang dimulai pada tahun 1930 (Kenworthy, 1991). Beberapa negara lainnya yang juga telah memanfaatkan siaran radio untuk kepentingan pendidikan/pembelajaran adalah Nicaragua, Honduras, Bolivia, India (Chaudhary dan Bansal, 2000), Indonesia, Papua New Guinea, dan Kenya (Bosch, 2002). Pengalaman berbagai negara ini menunjukkan hasil yang positif yaitu prestasi belajar para peserta didik menjadi meningkat (Pustekkom, 1993; Pangalila, 1995).

Yang menjadi keterbatasan dari media siaran radio (termasuk televisi) adalah bahwa peserta didik program pendidikan atau perlatihan tidak dapat mengendalikan program siaran karena berlangsung satu arah. Sedangkan kegiatan belajar senantiasa membutuhkan adanya pengulangan-pengulangan. Keterbatasan lain dari media siaran adalah keterikatan dengan waktu yang belum tentu sesuai dengan ketersediaan waktu peserta didik untuk mengikutinya.

Mengingat peserta didik tidak dapat melakukan intervensi terhadap pemanfaatan program siaran (misalnya keinginan untuk melakukan pengulangan terhadap bagian-bagian tertentu dari program siaran radio atau televisi) di samping program siaran tidak dapat dimanfaatkan sesuai dengan ketersediaan waktu mereka untuk siap belajar, maka dilakukanlah pengembangan program pembelajaran dalam bentuk rekaman (kaset audio atau video). Kegiatan belajar melalui media rekaman dapat sepenuhnya dikendalikan oleh peserta belajar. Pengulangan-pengulangan dapat dilakukan sampai peserta belajar dapat sepenuhnya memahami materi pelajaran. Mengapa media kaset audio? Karena peralatan pemanfaatan kaset audio sudah memasyarakat atau kalaupun dibeli, harganya relatif terjangkau, mudah atau sederhana mengoperasikannya, dan dapat dioperasikan dengan baterai kering.

3. Mengapa Media Terintegrasi untuk Bahasa Inggris?

Setiap media mempunyai keunggulan dan keterbatasannya. Kelebihan medium kaset audio pada dasarnya adalah memanipulasikan kemampuan-kemampuan suara semata-mata dan media cetak pada prinsipnya hanya mampu menampilkan informasi yang berupa huruf-angka (alphanumeric) dan simbol-simbol verbal tertentu saja (Haryono, dkk., 1984). Masing-masing jenis media dapat (1) dirancang secara sendiri-sendiri untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran, dan (2) dirancang secara terintegrasi atau terintegrasi antara dua jenis media untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran. Dirancang secara terintegrasi berarti masing-masing media tidak dapat sepenuhnya berdiri sendiri. Ada ketergantungan antara media yang satu dengan media lainnya. Melalui media terintegrasi ini, para peserta didik dikondisikan untuk mempelajari keempat keterampilan berbahasa Inggris, yaitu listening, speaking, reading, dan writing.

Sampai dewasa ini, pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing, oleh berbagai institusi pendidikan atau pelatihan dikemas ke dalam 2 jenis media secara terintegrasi. Dalam kaitan ini, yang banyak sekali digunakan untuk pelajaran/kursus bahasa Inggris adalah pengintegrasian media siaran radio atau media kaset audio dengan media cetak (modul). Beberapa contoh dari institusi yang sudah relatif mapan dan mengglobal dalam membelajarkan masyarakat di berbagai negara di bidang bahasa Inggris melalui pemanfaatan media terintegrasi adalah Radio Suara Australia (ABC), Radio Inggris (BBC), dan Radio Suara Suara Amerika (VOA). Konsep penggunaan media terintegrasi (media siaran radio dengan media cetak) diterapkan juga untuk membelajarkan masyarakat di bidang (a) bahasa Belanda oleh Radio Belanda, (b) bahasa Jerman oleh Radio Suara Jerman, (c) bahasa Jepang oleh Radio Jepang (NHK).

Salah satu model media terintegrasi yang telah dikembangkan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM) untuk pelajaran bahasa Inggris adalah antara media cetak modul dengan media kaset audio. Model media terintegrasi antara modul dan kaset audio untuk pelajaran Bahasa Inggris di SMP Terbuka ini telah dirintis pemanfaatannya di 5 propinsi sejak tahun 2001/2002.

Keputusan untuk mengembangkan dan merintis pemanfaatan media terintegrasi (media cetak modul dan media kaset audio) untuk pelajaran bahasa Inggris bagi peserta didik SMP Terbuka didasarkan atas berbagai pertimbangan, yaitu sebagai berikut:

a. Pertimbangan pertama adalah terletak pada karakteristik atau potensi media kaset audio dikaitkan dengan pelajaran bahasa Inggris. Pelajaran bahasa Inggris melalui media kaset audio mengaktifkan setidak-tidaknya indera pendengaran. Sedangkan melalui pemanfaatan media cetak modul, indera yang aktif adalah indera penglihatan. Dengan pengintegrasian kedua jenis media kaset audio dan media cetak maka indera yang aktif adalah indera pendengaran dan penglihatan.

b. Pertimbangan kedua adalah akses peserta didik terhadap peralatan/fasilitas pemanfaatan media kaset audio. Fasilitas atau peralatan pemanfaatan media kaset audio dapat dikatakan sudah memasyarakat. Artinya, sebagian besar masyarakat telah memiliki fasilitas atau peralatan pemanfaatan media kaset audio karena harganya yang relatif terjangkau oleh masyarakat luas. Kalaupun seandainya peserta didik SMP Terbuka tidak memiliki peralatan pemanfaatan media kaset audio, maka tidaklah terlalu sulit bagi peserta didik SMP Terbuka untuk meminjamnya dari masyarakat yang ada di lingkungannya.

c. Pertimbangan ketiga adalah kemudahan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media kaset audio. Peralatan pemanfaatan media kaset audio bentuknya sangat sederhana dan ringan serta pengoperasiannya juga mudah. Peserta didik SMP Terbuka dapat dengan mudah membawa peralatan pemanfaatan media kaset audio ini kemana saja sehingga pada waktu yang memungkinkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan belajar. Dengan demikian, peserta didik dapat melaksanakan kegiatan belajarnya dengan lebih leluasa (fleksibel).

d. Pertimbangan keempat adalah biaya untuk memanfaatkan media kaset audio. Tidaklah terlalu menjadi masalah bagi sekolah-sekolah yang belum dilengkapi dengan fasilitas listrik untuk memanfaatkan media kaset audio karena pengoperasian peralatan pemanfaatannya hanya membutuhkan baterai kering. Harga baterai kering tidaklah terlalu mahal atau masih relatif terjangkau oleh masyarakat pada umumnya. Memang akan lebih baik lagi apabila sekolah telah dilengkapi dengan fasilitas listrik.

Selanjutnya, yang perlu juga menjadi bahan pertimbangan adalah bahwa tidak ada satu jenis mediapun yang tepat atau pas untuk menyajikan semua materi pelajaran. Lebih khusus lagi adalah bahwa tidak semua bagian materi dari satu mata pelajaran dapat disajikan dengan baik dan tepat melalui satu jenis media sehingga lebih mudah dipahami peserta didik. Dapat saja terjadi bahwa bagian tertentu dari satu mata pelajaran cocok atau tepat disajikan dengan satu jenis medium. Sedangkan bagian materi lainnya cocok atau tepat dengan jenis media yang lain pula.

Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa bagian materi tertentu dari satu mata pelajaran hanya tepat jika disajikan dengan 2 media yang berbeda, baik yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri maupun secara terintegrasi (saling ketergantungan antara media yang satu dengan media lainnya). Justru dengan penggunaan kedua jenis media secara terintegrasi memberikan dampak yang bernilai tambah lebih.

Pengintegrasian kedua media kaset audio dan media cetak modul ini tentunya akan memberikan nilai tambah lebih dibandingkan jika kedua jenis media ini hanya diggunakan masing-masing secara berdiri sendiri-sendiri. Penggunaan media terintegrasi (modul dan kaset audio) untuk pelajaran bahasa Inggris di SMP Terbuka merupakan salah satu rekommendasi dari hasil penelitian dan kajian yang dilakukan oleh para ahli pendidikan bahasa Inggris dari Charles Sturt University (CSU) pada tahun 1995 tentang pemanfaatan modul dan kaset audio yang berdiri sendiri-sendiri. Media kaset audio berfungsi sebagai media penunjang modul.

4. Bagaimana Pengembangan Media Terintegrasi untuk Pelajaran Bahasa Inggris di SMP Terbuka?

Pada dasarnya perancangan dan pengembangan media terintegrasi tidak berbeda dengan perancangan dan pengembangan media secara individual atau yang berdiri sendiri-sendiri. Apabila sasaran dari media terintegrasi adalah para peserta didik di lingkungan pendidikan persekolahan (dalam hal ini adalah peserta didik SMP Terbuka), maka langkah pertama yang dilakukan adalah menganalisis kurikulum yang berlaku atau diterapkan di SMP. Mengapa kurikulum SMP yang dianalisis? Karena kurikulum yang digunakan di SMP Terbuka adalah sama dengan kurikulum yang digunakan di SMP reguler (konvensional).

Mengapa perlu dilakukan analisis terhadap kurikulumnya? Karena melalui analisis inilah dapat kita ketahui seperangkat informasi yang akan berfungsi sebagai patron atau pola dasar dari kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan melalui pemanfaatan media terintegrasi. Produk dari menganalisis kurikulum ini adalah Garis-garis Besar Isi Program Media Terintegrasi (GBIPMT). Apa saja yang dicakup di dalam GBIPMT?

Di dalam Garis-garis Besar Isi Program Media Terintegrasi (GBIPMT) dirumuskan berbagai hal penting yang akan menjadi rujukan atau dasar dalam menyusun atau mengembangkan bahan belajar yang akan dikemas ke dalam media terintegrasi. Hal-hal penting yang dimaksudkan adalah (Siahaan, 2000):

a. Kompetensi dan sub kompetensi yang diharapkan akan dikuasai oleh para peserta didik.

b. Indikator penguasaan sub kompetensi yang diharapkan.

c. Topik dan sub-topik materi pelajaran yang akan dikembangkan ke dalam media terintegrasi.

d. Pokok-pokok materi yang akan dicakup ke dalam media kaset audio dan juga yang akan dicakup di dalam media cetak modul.

e. Daftar rujukan atau bahan pustaka yang digunakan dan yang disarankan untuk digunakan dalam langkah-langkah pengembangan media terintegrasi berikutnya.

Langkah selanjutnya setelah GBIPMT disusun adalah melakukan pemetaan terhadap materi pelajaran yang akan dikembangkan ke dalam media terintegrasi melalui Kegiatan Belajar (Learning Activities). Dalam hal ini, digunakan format modul yang menguraikan materi pembelajaran ke dalam penggalan atau kegiatan belajar. Pada umumnya, modul mencakup antara 2 sampai dengan 3 Kegiatan Belajar. Sekalipun demikian, masih dimungkinkan untuk mengembangkan 4 Kegiatan Belajar di dalam sebuah modul.

Pada masing-masing Kegiatan Belajar ini hendaknya dideskripsikan uraian singkat tentang materi pelajaran yang akan dicakup oleh media terintegrasi. Untuk dapat melakukan pemetaan materi pelajaran dibutuhkan berbagai referensi yang akan menunjang atau memperkaya materi pelajaran yang akan dirancang dan dikembangkan ke dalam media terintegrasi. GBIPMT digunakan sebagai rujukan untuk mendeskripsikan uraian singkat pada setiap Kegiatan Belajar. Pada setiap Kegiatan Belajar yang terdapat di dalam modul dirumuskan sub topik yang akan dibahas dan uraian singkat tentang materi pelajaran yang akan dicakup oleh media terintegrasi, media kaset audio dan media cetak modul). Uraian singkat tentang masteri pelajaran di sini didasarkan pada pokok-pokok materi yang telah disusun di dalam GBIPMT.

Setelah pemetaan materi pelajaran dilakukan dengan mengikuti format media cetak modul, maka langkah berikut yang perlu dilakukan adalah menulis naskah modul dan sekaligus juga naskah media kaset audio untuk masing-masing Kegiatan Belajar. Penggarapan kedua jenis media yang terintegrasi ini dilakukan secara simultan dan direkommendasikan untuk setiap topik digarap oleh seorang penulis. Mengapa? Karena kerangka berpikir dan rancangan materi yang akan dikemas berangkat dari pola atau patron yang telah dimilki atau dikembangkan sebelumnya sehingga cara-cara mengolah atau meramu materinya sudah terbentang sebagai satu benang merah di dalam pemikiran si penulis.

Selanjutnya, kegiatan yang perlu dilaksanakan adalah menyusun soal-soal latihan atau tugas, baik yang akan disampaikan, baik melalui modul maupun melalui media kaset audio. Tentunya penyusunan soal-soal latihan atau tugas ini tidak terlepas dari pokok-pokok materi yang akan diuraikan. Khusus untuk pelajaran bahasa Inggris, penulis bahan belajar media terintegrasi dituntut untuk menidentifikasi atau bahkan menyusun wacana (reading passage) yang akan dibacakan oleh narrator melalui media kaset audio. Demikian juga dengan soal-soal latihan atau tugas haruslah disesuaikan dengan wacana yang dipersiapkan. Soal-soal pertanyaan dapat diajukan kepada peserta didik melalui media kaset audio atau modul (tergantung dari aspek kebahasaan yang dibahas).

Terhadap pertanyaan yang diajukan melalui kaset audio, maka alternatif atau pilihan jawabannya disediakan di dalam modul. Para peserta didik tinggal memilih alternatif jawaban yang benar dari beberapa pilihan yang tersedia. Manakala media kaset audio harus dihentikan, maka instruksi untuk menghentikannya harus jelas dikemukakan melalui media kaset audio. Sedangkan instruksi untuk melanjutkan pemutaran media kaset audio haruslah juga jelas dikemukakan di dalam media cetak modul.

Di dalam mengembangkan bahan belajar ke dalam media terintegrasi hendaknya selalu diupayakan agar penulis merumuskan beberapa pernyataan yang dapat menggugah atau memotivasi para peserta didik untuk belajar lebih serius, cermat, dan tidak menunda-nunda penggarapan semua soal latihan atau tugas yang diberikan. Demikian juga dengan pemberian apresiasi terhadap jawaban peserta didik yang benar maupun yang belum benar. Apresiasi ini dapat disampaikan melalui kaset media audio dan juga media cetak modul.

Sehubungan dengan pelajaran bahasa pada umumnya dan bahasa Inggris khususnya, hal lain yang perlu diperhatikan adalah penjelasan terhadap setiap kosa kata baru yang digunakan. Penjelasan ini dapat diberikan pada media cetak modul sehingga apabila peserta didik mendengarkan kosa kata tersebut, peserta didik telah memahami maknanya. Petunjuk bagi peserta didik untuk menirukan pernyataan/kalimat atau kosa kata maupun frasa dikemukakan melalui media kaset audio. Dengan petunjuk yang diberikan ini, maka para peserta didik mendapatkan kejelasan untuk menirukannya selama rentangan waktu yang disediakan.

Mengingat media cetak modul sebagai sumber belajar utama bagi peserta didik SMP Terbuka, maka pengembangan bahan belajar (media terintegrasi) sebaiknya dimulai terlebih dahulu dengan menulis modulnya. Sekalipun demikian, tidaklah berarti harus diselesaikan terlebih dahulu modulnya, baru kemudian dimulai menulis naskah media kaset audionya. Tetapi naskah kedua jenis media terintegrasi ini haruslah diselesaikan secara bersama-sama atau simultan.

C. Perintisan Pemanfaatan Media Terintegrasi Bahasa Inggris di SMP Terbuka

Ada serangkaian kegiatan yang dilaksanakan sebelum dilakukan pengembangan dan perintisan pemanfaatan media terintegrasi untuk pelajaran bahasa Inggris di SMP Terbuka. Berbagai kegiatan persiapan dilakukan oleh Pustekkom bekerjasama dengan Charles Sturt University (CSU) Australia, antara lain adalah analisis kebutuhan belajar bahasa Inggris di SMP Terbuka, penelitian tentang penggunaan media cetak modul dan kaset audio secara terpisah (berdiri sendiri di mana media kaset audio berfungsi sebagai media penunjang media cetak modul), dan pelatihan tentang pengembangan media terintegrasi pelajaran bahasa Inggris untuk SMP Terbuka.

Salah satu rekommendasi hasil studi adalah pengembangan bahan belajar bahasa Inggris di SMP Terbuka secara terintegrasi. Sebagai tindak lanjut dari rekommendasi ini adalah melakukan pelatihan tentang pengembangan media terintegrasi (modul dan kaset audio) bagi guru-guru SMP yang mengajar mata pelajaran bahasa Inggris. Setelah para guru bahasa Inggris SMP selesai mengikuti pelatihan pengembangan media terintegrasi, maka kegiatan berikutnya yang dilaksanakan adalah mengembangkan dan menggandakan media terintegrasi. Sementara itu, dilakukan juga studi kelayakan lokasi untuk perintisan pemanfaatannya di 5 propinsi, yaitu: (a) Jawa Barat, (b) Jawa Tengah, (c) Jawa Timur, (d) Sumatera Selatan, dan (e) Nusa Tenggara Barat.

Berdasarkan hasil studi kelayakan ditetapkanlah 5 lokasi SMP Terbuka yang dijadikan sebagai tempat perintisan pemanfaatan media terintegrasi untuk pelajaran bahasa Inggris, yaitu: (a) SMP Terbuka Jalan Cagak, Subang (Jawa Barat), (b) SMP Terbuka Tempuran, Magelang (Jawa Tengah), (c) SMP Terbuka Singosari, Malang (Jawa Timur), (d) SMP Terbuka Sukarami, Muara Enim (Sumatera Selatan), (e) SMP Terbuka Mataram (Nusa Tenggara Barat).

Setelah bahan belajar media terintegrasi pelajaran bahasa Inggris telah dikembangkan dan digandakan serta SMP Terbuka yang akan dijadikan sebagai lokasi perintisan telah ditetapkan, maka dilakukanlah penataran guru dan simulasi pemanfaatan media terintegrasi di dalam kelas oleh nara sumber dari Pustekkom. Bahan belajar media terintegrasi dan peralatan pemanfaatannya juga dibawa langsung ke masing-masing SMP Terbuka yang ditetapkan sebagai lokasi perintisan. Kemudian, beberapa guru diminta untuk mendemonstrasikan pemanfaatan media terintegrasi bagi para siswanya. Hasil demonstrasi yang dilakukan guru bahasa Inggris didiskusikan dengan nara sumber dari Pustekkom. Kegiatan akhir dari tahap persiapan ini adalah jadwal pemanfaatan media terintegrasi yang disusun bersama oleh para guru bahasa Inggris.

Ciri utama SMP Terbuka dan sekaligus yang membedakannya dengan SMP reguler (tatap muka) adalah bahwa sebagian besar waktu belajar para peserta didik SMP Terbuka dilakukan secara mandiri di TKB di bawah supervisi Guru Pamong. TKB yang pada umumnya digunakan peserta didik SMP Terbuka untuk belajar mandiri adalah Sekolah Dasar karena tidak digunakan oleh peserta didik SD pada sore hari. Para Guru Pamong dan Guru Bina telah mengikuti pelatihan tentang cara-cara pemanfaatan media terintegrasi untuk pelajaran bahasa Inggris sehingga mereka telah siap untuk melaksanakan pemanfaatan media terintegrasi dan diharapkan mereka ini tidak akan mengalami kesulitan dalam mempersiapkan peserta didiknya untuk belajar melalui media terintegrasi.

Kesiapan lainnya adalah bahwa masing-masing peserta didik telah memiliki modul bahasa Inggris. Sedangkan media kaset audionya disimpan oleh Guru Pamong. Setelah semua peserta didik siap dengan modulnya dan Guru Pamong siap untuk mengoperasikan pemanfaatan media kaset audio, barulah kegiatan belajar bahasa Inggris melalui media terintegrasi dimulai. Bilamana diperlukan peserta didik, Guru Pamong dapat menghentikan atau memutar ulang kaset audio sehingga para peserta didik memang benar-benar telah dapat memahami materi pelajaran yang dipelajari.

Apabila para peserta didik mengalami kesulitan atau pertanyaan selama kegiatan belajar melalui media terintegrasi berlangsung, maka para peserta didik diminta untuk mencatatnya atau program kaset audio diputarkan berulang-ulang. Catatan tentang kesulitan para peserta didik selama belajar di TKB diajukan Guru Pamong kepada Guru Bina Bahasa Inggris di Sekolah Induk untuk dibahas sewaktu kegiatan tutorial tatap muka. Sekolah Induk adalah SMP Negeri yang telah ditunjuk untuk berperan sebagai Sekolah Induk bagi SMP Terbuka. Penunjukkan ini didasarkan atas beberapa kriteria, antara lain: mempunyai guru bidang studi yang lengkap dan masih memungkinkan untuk diberi tugas tambahan, mempunyai fasilitas pembelajaran yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik SMP Terbuka, lokasinya terdekat dan terjangkau oleh populasi peserta didik SMP Terbuka.

Sewaktu tutorial tatap muka, apabila Guru Bina memandang perlu, maka Guru Bina dapat saja meminta para peserta didik membuka modul Bahasa Inggrisnya dan kemudian Guru Bina memutar ulang kaset audio. Dengan cara demikian ini diharapkan berbagai kesulitan yang dihadapi para peserta didik selama belajar di TKB dapat dibahas bersama Guru Bina. Pada saat tutorial tatap muka ini, Guru Bina dapat juga memberikan penjelasan tentang arti beberapa kosakata atau frasa. Di samping itu, Guru Bina dimungkinkan juga untuk membimbing peserta didik mendengarkan dan menirukan cara pengujaran atau pelafalan kata-kata maupun frasa tertentu secara benar.

Selanjutnya, ada beberapa catatan tentang pelaksanaan kegiatan pemanfaatan media terintegrasi untuk pelajaran bahasa Inggris di SMP Terbuka. Dari segi akademik, rata-rata hasil prestasi belajar peserta didik SMP Terbuka melalui media terintegrasi tidak terlalu berbeda jauh dengan rata-rata hasil prestasi belajar peserta didik SMP biasa (mendekati rata-rata hasil prestasi belajar peserta didik SMP biasa) yang belajar bahasa Inggris di Sekolah Induk SMP Terbuka. Sedangkan dari segi non-akademik, para peserta didik SMP Terbuka dikondisikan untuk mempelajari kedua jenis media yang dirancang secara terintegrasi. Karena para peserta didik tidak dapat hanya mempelajari modul atau media kaset audio saja. Karena keduanya saling tergantung satu dengan yang lain.

Berbeda halnya sewaktu media cetak modul dan kaset audio dirancang untuk dimanfaatkan secara indpenden atau berdiri sendiri-sendiri. Dalam keadaan yang berdiri sendiri ini, ada kecenderungan peserta didik untuk tidak mempelajari materi yang dikemas ke dalam media kaset audio. Dengan demikian, para peserta didik SMP Terbuka tidak mempunyai kesempatan untuk membiasakan diri mendengarkan cara pelafalan bahasa Inggris atau juga membiasakan diri melafalkan bahasa Inggris, baik yang menyangkut kata, kelompok kata, maupun kalimat.

Ada beberapa masalah yang dihadapi oleh peserta didik maupun guru dalam melaksanakan kegiatan belajar bahasa Inggris melalui pemanfaatan media terintegrasi sebagaimana yang diungkapkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di daerah perintisan. Berbagai masalah yang terungkap dari hasil penelitian ini sangat berharga untuk dijadikan sebagai masukan dalam perancangan dan pengembangan program pembelajaran media terintegrasi. Masalah-masalah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut (Siahaan, 2004).

Dari hasil pemantauan, sebagian peserta didik mengemukakan bahwa masalah-masalah yang mereka hadapi dalam mempelajari Bahasa Inggris dengan menggunakan media terintegrasi, antara lain adalah: (a) percakapan dalam kaset terlalu cepat bicaranya, (b) ada sebagian kecil peserta didik yang mengatakan kualitas suara rekaman kaset kurang jelas, (c) keterbatasan waktu yang diberikan kepada peserta didik untuk mendengarkan kaset dan sekaligus juga untuk menirukan cara pelafalan kata atau percakapan, dan (d) adanya beberapa kosakata yang masih sulit atau tidak dipahami peserta didik karena tidak ada penjelasannya di modul.

Selain hambatan yang dikemukakan peserta didik, Guru Bina juga mengemukakan hambatan yang dihadapi, yaitu antara lain adalah bahwa kualitas kaset yang rendah sehingga apabila terlalu sering dimanfaatkan sering macet dan suara berderit (dapat saja terjadi karena sudah terlalu sering digunakan dan dapat juga diakibatkan cara penyimpanannya yang kurang baik) dan (b) kecepatan berbicara pada media kaset audio dinilai masih relatif cepat tetapi sebagian dinilai memadai oleh sebagian peserta didik lainnya.

Sedangkan Guru Pamong menginformasikan bahwa hambatan yang dialami/dihadapi peserta didik berdasarkan pengamatan mereka adalah (a) kesulitan untuk menangkap arti dari beberapa kosa kata yang didengar, (b) adanya ketidaksesuaian antara yang terdapat pada modul dengan yang didengarkan di dalam kaset audio, (c) kesulitan untuk mengikuti dan memahami materi pelajaran yang berkaitan dengan aspek listening, dan (d) peserta didik kadang-kadang kurang memahami perintah-perintah dalam audio.

Berbagai masalah yang dikemukakan oleh peserta didik, Guru Bina, dan Guru Pamong sangat bermanfaat untuk lebih menyempurnakan program media terintegrasi, baik yang akan dikembangkan berikutnya maupun untuk menyempurnakan yang telah ada.

D. Simpulan dan Saran

Pemanfaatan program media terintegrasi dilakukan peserta didik di bawah supervisi Guru Pamong di Tempat Kegiatan Belajar (TKB). Pemanfaatan media terintegrasi dapat dilakukan secara berulang-ulang, baik di bawah bimbingan Guru pamong maupun secara kelompok oleh peserta didik. Pemanfaatan secara berulang-ulang ini dinilai turut membantu mempermudah peserta didik memahami materi pelajaran bahasa Inggris. Melalui pemanfaatan yang berulang-ulang memberikan peluang bagi para peserta didik untuk mendengar dan menirukan pengujaran bahasa Inggris secara benar, baik mengenai kosakata tertentu maupun yang berkaitan dengan frasa atau percakapan.

Masalah yang dihadapi peserta didik selama belajar mandiri di TKB dibahas bersama Guru Bina di Sekolah Induk sewaktu tutorial tatap muka berlangsung. Di Sekolah Induk, apabila Guru Bina memandang perlu maka kegiatan belajar melalui media terintegrasi dapat juga dilakukan ulang terutama untuk bagian-bagian yang sulit dipahami peserta didik. Beberapa upaya telah dilakukan oleh guru bina dan Guru Pamong untuk memecahkan masalah atau kesulitan yang ada, yaitu antara lain dengan: (a) meminjam peralatan pemanfaatan kaset audio dari sesama guru maupun dari peserta didik untuk digunakan di kelas, (b) memberikan penjelasan tentang berbagai kesulitan yang dihadapi peserta didik misalnya tentang arti beberapa kosakata, (c) membimbing peserta didik untuk mendengarkan dan menirukan cara pengujaran kata-kata maupun frasa tertentu secara benar, dan (d) memutar kaset audio berulang-ulang, baik di TKB maupun di sekolah induk sewaktu tutorial tatap muka.

Di samping menarik dan bermanfaat, para peserta didik juga mengakui bahwa mereka menjadi lebih termotivasi untuk mempelajari bahasa Inggris melalui media terintegrasi. Peserta didik termotivasi karena mereka dikondisikan untuk aktif selama belajar bahasa Inggris. Peserta didik tidak hanya pasif mendengarkan, tetapi mereka dikondisikan untuk mendengarkan dan menirukan cara pelafalan/pengucapan bahasa Inggris (listen and repeat). Kebiasaan mendengarkan dan menirukan ini dapat membantu mempermudah peserta didik menggunakan bahasa Inggris. Artinya, peserta didik yang mempelajari bahasa Inggris akan lebih mudah menguasai bahasa Inggris, tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan saja, tetapi juga aspek penggunaannya untuk berkomunikasi lisan.

Selain membiasakan peserta didik untuk mendengarkan dan menirukan, perlu juga dikembangkan kebiasaan peserta didik untuk mempraktekkan penggunaan bahasa Inggris yang telah dipelajari dengan sesama teman atau orang lain. Dengan mempraktekkan pengetahuan bahasa Inggris yang telah dipelajari ke dalam perakapan sehari-hari (berkomunikasi lisan dengan orang lain) akan menumbuhkembangkan keberanian peserta didik untuk menggunakan bahasa Inggris. Dalam kaitan ini, perlu ditekankan kepada peserta didik untuk tidak takut membuat kesalahan dalam menggunakan bahasa Inggris, baik yang sifatnya tertulis maupun yang sifatnya penggunaan lisan. Belajar dari kesalahan dalam mempelajari bahasa akan semakin meningkatkan kemampuan dan keterampilan peserta didik menggunakan bahasa Inggris.

Dalam belajar bahasa Inggris, hendaknya para peserta didik juga didorong untuk senantiasa berupaya mencari dan memanfaatkan berbagai sumber belajar bahasa Inggris di luar bahan belajar media terintegrasi. Dengan mempelajari berbagai sumber belajar akan memberikan wawasan pengetahuan peserta didik yang lebih luas sehingga dengan demikian akan lebih memantapkan tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran bahasa Inggris.


Kepustakaan

Bosch, A. (2002). Interactive Radio Instruction: Twenty-three years of Improving Educational Quality. [online] URL: http://www.unesco.org/wef/en-leadup/findings_techno.

Chaudhary, S.S. dan Bansal, K. (2000). Interactive Radio Counseling in Indira Gandhi National Open University: A Study. Journal of Distance Education Vol. 6, 1/12. [online] URL: http://cade.athabascau.ca/vol6.1/12_review.

Demiray, (2004). Defining of Distance Education. [online] URL: http://home.anadolu.edu.tr/-udemiray/&Histo.htm (diakses tanggal 5 Agustus 2004).

Demiray, Ugur dan Isman, Aytekin. (2004). History of Distance Education. [online] URL: http://home. anadolu.edu.tr/-udemiray/&Histo.htm (diakses tanggal 5 Agustus 2004).

Dodds, (1983). Administration of Distance-Teaching Institutions: A Manual, International Extension College. Cambridge-United Kingdom: International Extension College.

Haryono, dkk. (eds.). (1984). Teknologi Komunikasi Pendidikan: Pengertian dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kenworthy, (1991). Old Technology, New Solutions: The Potential of Educational Radio for Development in Mongolia. USA: ED Journal, Volume 9 Number: 1.

Ozkul, E. (2004). Anadolu University Distance Education System: From Emergence to 21st Century. Turkey: Open Education Faculty, Anadolu University.

Pangalila, P.E.A. (1995). Interactive Distance Education in Indonesia. Proceedings of the First International Symposium. Prospects for Distance Education: Sharing, Caring, and Cooperating. Yogyakarta, Indonesia: Secretariat of Indonesian Distance Learning Network.

Pustekkom. (1993). Petunjuk Pelaksanaan Siaran Radio Pendidikan untuk Murid Sekolah Dasar. Jakarta: Pustekkom Depdikbud.

Rahardjo, (1984). Teknologi Komunikasi Pendidikan: Pengertian dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Schramm, (1977). Big Media Little Media: Tools and Technologies for Instruction. London: Sage Publications.

Siahaan, (2000). Penyusunan Garis-Garis Besar Isi Modul. Modul Pelatihan Penyusunan Modul. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Siahaan, (2004). “Studi Kasus: Pemanfaatan Media secara Terintegrasi (Media Kaset Audio dan Modul) dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di SMP Terbuka Gelumbang-1 Sukarami, Muara Enim, Sumatera Selatan”, makalah hasil penelitian yang disajikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran yang bertemakan Menghadapi Tantangan Daya Saing SDM Nasional dan Internasional, tanggal 1-2 Desember 2004 di Jakarta.

Minggu, 16 Maret 2008

Media Pembelajaran


Media Pembelajaran: Mitra atau Kompetitor bagi Guru dalam Kegiatan Pembelajaran?

Drs. Sudirman Siahaan, MPd*)

Abstrak

Media pembelajaran diyakini sebagian guru dapat membantu memudahkan peserta didik memahami materi pelajaran. Sebagian guru lainnya berpendapat bahwa pemanfaatan media pembelajaran apalagi harus ikut melakukan pengembangannya merupakan pekerjaan yang merepotkan dan menyita banyak waktu. Dengan cara mengajar tanpa menggunakan media pembelajaran, para guru telah berhasil mendidik peserta didiknya dengan prestasi belajar yang menggembirakan. Tipe guru yang demikian ini cukup puas dengan yang telah dicapai dan tidak mau repot untuk mencoba melakukan suatu pembaharuan. Sebagian guru lainnya berpendapat bahwa pemanfaatan media pembelajaran di kelas secara bertahap akan dapat menggusur keberadaan atau peran guru (educational media as a substitute). Media pembelajaran disikapi sebagai “kompetitor atau rival” di dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Karena itu, sikap resistansi terhadap media pembelajaran berkembang di kalangan sebagian guru. Para guru yakin bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan membelajarkan peserta didik di kelas dapat diselesaikan dengan kehadiran guru di kelas. Tipe guru yang demikian ini memperlakukan dirinya pada posisi yang berlebihan sehingga menutup diri dan “mencurigai” setiap upaya untuk menghadirkan media dalam kegiatan pembelajaran. Media pembelajaran diperlakukan sebagai “rival atau pesaing” dalam pelaksanaan tugas. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang peranan media pembelajaran dan guru dalam kegiatan belajar-mengajar.

Kata Kunci: media pembelajaran, kegiatan pembelajaran, peranan guru dan media dalam pembelajaran

-----------------------

*) Drs. Sudirman Siahaan, MPd adalah tenaga fungsional peneliti bidang pendidikan pada Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (PUSTEKKOM)-Departemen Pendidikan Nasional.

A. Pendahuluan

Ada beberapa gambaran yang dapat diamati pada beberapa sekolah yang berbeda. Apabila sekolah yang dikunjungi adalah di daerah perkotaan di kota-kota besar, maka akan tampak sekolah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas kegiatan pembelajaran. Misalnya, ada fasilitas laboratorium sains, laboratorium bahasa, perpustakaan yang dilengkapi dengan sejumlah komputer, ada ruang multimedia atau ruang media pembelajaran audiovisual, dan lain sebagainya. Semakin jauh lokasi suatu sekolah dari kota, biasanya semakin minimal fasilitas pembelajaran yang dimiliki. Fasilitas yang dimiliki, misalnya adalah sebatas globe dan peta Indonesia yang ditempatkan di ruang guru (digunakan secara bergantian oleh guru), perpustakaan yang berisikan buku-buku lama dengan kondisi ruangan yang “kurang menggugah untuk melakukan kegiatan membaca”, torso dan kerangka manusia yang ada di ruang Kepala Sekolah, dan fasilitas lainnya yang serba terbatas.

Ada juga beberapa guru dengan inisiatifnya sendiri mencari dan memanfaatkan media tertentu dalam membelajarkan para peserta didiknya. Guru bahasa Inggris misalnya, dengan kesadaran sendiri membeli media kaset audio tentang topik tertentu yang berisikan suara penutur asli bahasa Inggris untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelasnya. Guru tersebut berharap bahwa para peserta didik akan mendengarkan sendiri secara langsung dari penutur asli tentang pelafalan kata-kata, kelompok kata, atau kalimat bahasa Inggris.

Kegiatan yang dilakukan itu diyakini oleh guru bahwa belajar bahasa Inggris dengan memanfaatkan media kaset audio, maka para peserta didiknya akan termotivasi dan terbantu untuk menguasai aspek kemampuan tertentu dari bahasa Inggris (listening skill atau speaking skill). Pembelian media kaset audio ini tentulah disesuaikan guru dengan kondisi dan kemampuan yang ada pada dirinya atau sekolahnya. Tujuannya adalah untuk dimanfaatkan di kelas sehingga dapat membiasakan para peserta didik mendengarkan suara penutur asli bahasa Inggris atau setidak-tidaknya pelafalan bahasa Inggris yang sebagaimana adanya dan sekaligus juga menjadi terbiasa.

Pemanfaatan media pembelajaran dapat juga berasal bukan dari guru atau sekolah tetapi justru dari pihak luar yang tentunya didasarkan hasil analisis kebutuhan belajar. Media pembelajaran dan fasilitas pemanfaatannya dalam jumlah yang memadai disediakan pihak tertentu yang peduli dengan masalah pendidikan/pembelajaran untuk dimanfaatkan dan dikelola sebaik-baiknya oleh sekolah. Bahkan para guru juga dilatih bagaimana memanfaatkan media pembelajaran yang diberikan termasuk memeliharanya. Di samping itu, para guru juga diikutsertakan untuk mengamati simulasi pemanfaatan media pembelajaran di dalam kelas. Kemudian, para guru juga diberikan kesempatan untuk melakukan ujicoba pemanfaatan media pembelajaran di kelasnya di bawah supervisi nara sumber tertentu yang ditugaskan. Berbagai kelemahan/kekurangan didiskusikan setelah beberapa guru selesai melakukan ujicoba di kelas tertentu.

Selain media pembelajaran yang berupa rekaman, ada juga media pembelajaran yang berupa siaran. Melalui media massa cetak disajikan jadwal penayangan siaran televisi yang berkaitan dengan materi pendidikan/pembelajaran atau jadwal siaran ini dikirimkan ke sekolah-sekolah secara teratur setiap tahun atau enam bulan sekali. Untuk dapat memanfaatkan media pembelajaran yang berupa siaran (baik televisi maupun radio) di sekolah, maka sekolah haruslah melengkapi dirinya dengan fasilitas/peralatan pemanfaatan media pembelajaran yang bersifat siaran. Kemudian, sekolah-sekolah yang telah dilengkapi atau melengkapi dirinya dengan fasilitas/peralatan ini diberikan penjelasan tentang cara-cara memanfaatkan media siaran, memelihara, dan merawat peralatan pemanfaatan, serta rangkuman setiap materi pelajaran yang akan ditayangkan melalui siaran.

Langkah lebih lanjut yang perlu dilakukan adalah Kepala Sekolah mengkoordinasikan penyusunan atau penyesuaian jadwal pemanfaatan media siaran dengan jadwal pelajaran di masing-masing kelas sehingga fasilitas/peralatan pemanfaatan media siaran dapat dioptimalkan. Apabila fasilitas/peralatan pemanfaatan media siaran yang ada terbatas, maka langkah yang dapat ditempuh adalah merekam materi pelajaran yang ditayangkan dan barulah kemudian memanfaatkannya di dalam kelas. Pemanfaatan media siaran yang direkam ini menjadi lebih luwes karena dapat disesuaikan dengan keadaan yang berkembang di sekolah.

Agar para guru senantiasa termotivasi untuk secara teratur dan optimal memanfaatkan media pembelajaran diperlukan adanya kegiatan monitoring dan supervisi secara periodik, baik dari Kepala Sekolah maupun dari instansi kedinasan yang relevan. Melalui kegiatan pemantauan dan pembinaan yang dilakukan secara periodik, maka berbagai kesulitan atau masalah yang terjadi dapat diatasi sehingga pemanfaatan media pembelajaran dapat berjalan lancar dan pada akhirnya tentunya akan memberikan nilai tambah terhadap peningkatan prestasi belajar para peserta didik asuhannya.

Dari pengalaman tentang pengenalan media pembelajaran ke berbagai sekolah, maka pada umumnya selama masa ujicoba atau perintisan pemanfaatan media pembelajaran dilakukan, para guru memperlihatkan sikap yang positif dan antusias. Mengapa? Mereka bersyukur mendapat kesempatan untuk melakukan “inovasi” di dalam kegiatan pembelajaran yaitu dengan merancang dan memanfaatkan media pembelajaran. Di samping itu, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya, baik untuk pengadaan fasilitas/peralatan pemanfaatan media pembelajaran (perangkat keras) maupun media pembelajarannya sendiri (perangkat lunak). Kepala Sekolah juga selaku manajer di sekolah, dengan diikutsertakannya sekolah yang dipimpinnya maka Kepala Sekolah merasakan adanya penghargaan atau diberi kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang baru di dalam proses belajar-mengajar. Konsekuensinya, Kepala Sekolah juga sangat memperhatikan kegiatan pemanfaatan media pembelajaran yang dilakukan para guru.

Dengan berkembangnya sikap positif di kalangan para Kepala Sekolah dan Guru, maka langkah lebih lanjut diharapkan adalah bahwa para guru akan memperlakukan media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar bagi para peserta didiknya. Dengan demikian, sumber belajar yang dapat diakses peserta didik selama belajar di sekolah tidak hanya terbatas pada guru dan buku teks atau buku paket, tetapi telah bertambah dengan dimanfaatkannya media pembelajaran. Dengan kesediaan guru memanfaatkan media pembelajaran di kelas maka para peserta didik akan dapat belajar melalui sumber belajar yang bervariasi, sehingga diharapkan akan dapat mempermudah peserta didik memahami materi pelajaran dan pada akhirnya juga akan bermuara pada peningkatan prestasi belajar peserta didik. Dalam keadaan yang demikian ini, dapat dikatakan bahwa para guru memperlakukan media pembelajaran sebagai mitra dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di kelas.

Yang menjadi masalah adalah bahwa pemanfaatan media pembelajaran tidak dapat berjalan terus-menerus karena berbagai faktor penyebab, yang antara lain adalah: mutasi guru atau Kepala Sekolah, fasilitas/peralatan media pembelajaran yang mengalami kerusakan, kualitas media pembelajaran yang ada semakin menurun, pergantian kurikulum, tidak adanya dukungan dari Kepala Sekolah yang baru, merasa direpotkan untuk mengikuti jadwal siaran tidak selalu sama dengan jadwal pelajaran sekolah.

Melalui tulisan ini diharapkan para Kepala Sekolah dan Guru memiliki pemahaman yang proporsional tentang media pembelajaran dan memperlakukannya sebagai mitra dalam membelajarkan para peserta didik. Tulisan ini akan dimulai dari konsep tentang media pembelajaran, peranan atau potensi media pembelajaran, dan beberapa kecenderungan pemahaman dan sikap guru terhadap media pembelajaran.

B. Media Pembelajaran: Konsep, Fungsi, Potensi, dan Pemilihannya

1. Konsep tentang Media Pembelajaran

Wilbur Schramm mengemukakan bahwa media merupakan “information carrying technologies that can be used for instruction… The media of instruction, consequently are the extension of the teacher” (informasi yang dikemas dan disajikan melalui perangkat teknologi dapat digunakan untuk kepentingan pembelajaran… Sebagai konsekuensinya adalah bahwa media pembelajaran merupakan perpanjangan dari fungsi dan peranan guru” (Schramm, 1977). Sedangkan Leslie J. Briggs mengemukakan bahwa media merupakan “the physical means of conveying instructional content … books, films, videotapes, slide-tapes, etc.” (media merupakan wadah untuk menyalurkan materi pembelajaran … misalnya buku, film, kaset video, dan program slide) (Briggs, 1977).

Istilah “media pembelajaran” mencakup istilah media dan pembelajaran. Istilah media atau medium secara sederhana dapat dikemukakan sebagai perantara, pengantar, atau wahana. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan pesan/informasi dari sumber kepada penerima (Rahardjo, 1984). Sedangkan istilah pembelajaran mengandung makna bahwa ada proses atau interaksi antara seseorang atau sekelompok orang dengan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Dalam hal ini, sumber belajar menurut Yusufhadi Miarso dapat berupa orang (misalnya guru, instruktur, widyaiswara, atau seseorang yang memiliki pengetahuan atau keterampilan tertentu) atau dapat juga berupa bukan orang (misalnya: lingkungan, media, teknik atau prosedur, bahan (Miarso, 1984).

Media pembelajaran menurut Raphael Rahardjo berarti segala sesuatu, baik yang sengaja dirancang (media by utilization) maupun yang telah tersedia (media by design), baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan (materi pelajaran) dari sumber (misalnya guru) kepada penerima (peserta didik) sehingga membuat atau membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Masing-masing jenis media mempunyai karakteristik tertentu, atau setiap media mempunyai keunikannya sendiri-sendiri. Tidak ada satu jenis media yang tepat/cocok untuk menyajikan semua jenis materi pelajaran. Jenis media tertentu hanya tepat untuk menyajikan jenis materi pelajaran tertentu tetapi tidak untuk menyajikan materi pelajaran lainnya.

Berkaitan dengan pengertian media, beberapa ahli melakukan klasifikasi tentang media sesuai dengan karakteristik atau ciri utamanya. Salah satu klasifikasi jenis media yang banyak digunakan adalah sebagaimana yang dikemukakan Rudy Bretz. Berdasarkan ciri utama atau karakteristiknya, Rudy Bretz mengklasifikasi media menjadi 3 unsur pokok, yatu: suara, bentuk visual, dan gerak. Masing-masing unsur pokok yang dikandung media masih dapat dirinci lagi sehingga pada akhirnya, Rudy Bretz mengemukakan ada 7 klasifikasi media, yaitu: (a) media cetak, (b) media audio, (c) media visual diam, (d) media visual gerak, (e) media audio semi gerak, (f) media audiovisual diam, dan (g) media audiovisual gerak (Bretz, 1971).

Ada juga ahli yang mengelompokkan media ke dalam media transmisi dan media rekaman. Media transmisi mencakup radio dan televisi. Sedangkan media rekaman mencakup media kaset audio dan kaset video (Bretz, 1971). Ahli lain melakukan pengelompokkan media ke dalam media cetak dan media non-cetak. Media cetak dapat berupa buku, modul, brosur, atau surat kabar. Sedangkan media non-cetak dapat dikelompokkan lagi ke dalam (a) media transmisi, (b) media proyeksi, (c) media rekaman, dan (d) media berbasis komputer. Media rekaman juga masih dapat dikelompokkan ke dalam media audio dan video. Tabel 1 berikut ini diberikan sebagai salah satu contoh pengklasifikasian media.

Tabel 1: Pengklasifikasian Media

KLASIFIKASI

JENIS MEDIA

Media yang diproyeksikan

Overhead Transparancy, slide, Opaque

Media yang tidak diproyeksikan

Realia, model, bahan grafis, display

Media rekaman

Kaset audio, kaset video,

Media berbasis komputer

Computer-assisted instruction (pembelajaran berbantuan komputer)

Multimedia kit

Perangkat praktikum

Media berbasis jaringan

Internet

Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa media pembelajaran merupakan wadah atau wahana yang digunakan (oleh guru, instruktur, dosen, widyaiswara) untuk menyalurkan pesan/materi pembelajaran kepada peserta didik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa televisi, radio, Overhead Transparancy (OHT), kaset audio, kaset video, dan komputer merupakan wahana fisik (physical means) yang dapat digunakan untuk menyajikan materi pembelajaran. Dalam kaitan ini, yang perlu disiati adalah bagaimana memilih dan memanfaatkan media pembelajaran dengan baik sehingga kegiatan pembelajaran menjadi kegiatan yang menyenangkan, dan pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar peserta didik.

2. Potensi Media Pembelajaran

Pada perkembangan awal, media diartikan hanya sebatas alat bantu yang digunakan guru untuk mengelola kegiatan belajar-mengajar. Alat bantu ini adalah berupa sarana yang dapat memberikan pengalaman visual kepada peserta didik sehingga dapat mendorong motivasi belajar, memperjelas dan mempermudah konsep yang abstrak, dan mempertinggi daya serap atau retensi belajar peserta didik. Dalam kaitan media sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, Raphael Rahardjo merujuk pemikiran Edgar Dale yang merumuskan klasifikasi pengalaman belajar dari tingkat yang paling konkrit ke tingkat yang paling abstrak (Rahardjo, 1984).

Lebih jauh, Raphael Rahardjo mengemukakan bahwa media pembelajaran merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang mempunyai nilai-nilai praktis berupa kemampuan/ keterampilan untuk:

a. membuat konkrit konsep yang abstrak, misalnya untuk menjelaskan sistem peredaran darah;

b. membawa obyek yang berbahaya atau sukar didapat ke dalam lingkungan belajar, seperti: binatang-binatang buas, atau penguin dari kutub selatan;

c. menampilkan obyek yang terlalu besar, seperti pasar, candi borobudur;

d. menampilkan obyek yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, seperti: mikro organisme;

e. mengamati gerakan yang terlalu cepat, misalnya dengan slow motion atau time-lapse photography;

f. memungkinkan peserta didik berinteraksi langsung dengan lingkungannya;

g. memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi bagi pengalaman belajar peserta didik;

h. membangkitkan motivasi belajar peserta didik;

i. menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut kebutuhan; dan/atau

j. menyajikan pesan atau informasi belajar secara serempak, mengatasi batasan waktu maupun ruang.

3. Fungsi/Peranan Media

Media dalam kegiatan pembelajaran di kelas (classroom instruction) dapat berfungsi sebagai suplemen yang sifatnya pilihan/opsional, pelengkap (komplemen), atau bahkan pengganti guru (substitusi) (Siahaan, 2002).

a. Suplemen (tambahan)

Dikatakan berfungsi sebagai suplemen (tambahan), apabila guru atau peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan media pembelajaran atau tidak untuk materi pelajaran tertentu. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi guru atau peserta didik untuk memanfaatkan media pembelajaran. Sekalipun sifatnya opsional, guru yang memanfaatkan media pembelajaran secara tepat untuk membelajarkan para peserta didiknya atau para peserta didik sendiri yang berupaya mencari dan kemudian memanfaatkan media pembelajaran tentulah akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.

b. Komplemen (pelengkap)

Dikatakan berfungsi sebagai komplemen (pelengkap) apabila media pembelajaran diprogramkan untuk melengkapi atau menunjang materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas (Lewis, 2002). Sebagai komplemen berarti media pembelajaran diprogramkan sebagai materi reinforcement (pengayaan) atau remedial bagi peserta didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.

Media pembelajaran dikatakan sebagai enrichment, apabila kepada peserta didik yang dapat dengan cepat menguasai/memahami materi pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka (fast learners) diberikan kesempatan untuk memanfaatkan media pembelajaran tertentu yang memang secara khusus dikembangkan untuk kepentingan para peserta didik. Tujuannya adalah untuk lebih memantapkan tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan guru di dalam kelas.

Dikatakan sebagai program remedial, apabila kepada para peserta didik yang mengalami kesulitan memahami materi pelajaran yang disajikan guru secara tatap muka di kelas (slow learners) diberikan kesempatan untuk memanfaatkan media pembelajaran yang memang secara khusus dirancang untuk kepentingan para peserta didik. Tujuannya agar para peserta didik semakin lebih mudah memahami materi pelajaran yang disajikan guru di kelas.

c. Substitusi (pengganti)

Beberapa perguruan tinggi di negara-negara maju memberikan beberapa alternatif model kegiatan pembelajaran/perkuliahan kepada para peserta didiknya. Tujuannya agar para peserta didik dapat secara luwes mengelola kegiatan perkuliahannya sesuai dengan waktu dan aktivitas lain sehari-hari peserta didik. Ada 3 alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih peserta didik, yaitu: (1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional) yang kemungkinan juga disertai dengan pemanfaatan media pembelajaran, (2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui media pembelajaran yang disajikan melalui internet, atau bahkan (3) sepenuhnya melalui media pembelajaran yang disajikan melalui internet.

Alternatif model pembelajaran mana pun yang akan dipilih peserta didik tidak menjadi masalah dalam penilaian. Karena ketiga model penyajian materi perkuliahan mendapatkan pengakuan atau penilaian yang sama. Jika peserta didik dapat menyelesaikan program perkuliahannya dan lulus melalui cara konvensional di bawah bimbingan dosen atau sepenuhnya belajar melalui internet, atau bahkan belajar melalui perpaduan kedua model ini, maka institusi penyelenggara pendidikan akan memberikan pengakuan yang sama. Keadaan yang sangat luwes ini dinilai sangat membantu peserta didik untuk mempercepat penyelesaian perkuliahannya.

4. Pemilihan Media Pembelajaran

Pemilihan media pembelajaran, baik yang akan dirancang maupun yang akan dibeli, hendaknya memperhatikan beberapa pertimbangan berikut ini.

a. Kesesuaian dengan Materi Kurikulum dan Karakteristik Media

Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau dibeli, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media. Kemudian, dilakukan telaah terhadap jenis media apa yang tepat untuk menyajikan materi pelajaran tertentu yang dikehendaki sebagaimana yang terdapat di dalam kurikulum.

Salah satu prinsip pemilihan media adalah bahwa tidak ada jenis media apa pun yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran. Sebagai contoh misalnya, pelajaran bahasa Inggris. Untuk bidang kemampuan berbahasa mendengarkan/ menyimak (listening skill), maka media yang lebih tepat untuk digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat untuk menyajikan materi pembelajarannya adalah media cetak.

Sedangkan untuk media video, dinilai lebih tepat untuk menyajikan materi pelajaran antara lain yang berkaitan dengan proses yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, misalnya proses peredaran darah atau proses pencernaan makanan pada pelajaran Biologi. Melalui teknik animasi pada program video, proses peredaran darah atau pencernaan makanan dapat divisualisasikan sehingga akan membantu mempermudah peserta didik memahaminya. Atau, untuk menjelaskan profil kehidupan binatang buas misalnya, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.

b. Keterjangkauan dalam Pembiayaan

Dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran hendaknya juga dipertimbangkan aspek ketersediaan anggaran penunjangnya. Kalau memang harus membuat sendiri medianya, hendaknya juga dipikirkan siapa di antara para guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan jenis media pembelajaran yang dibutuhkan. Kalau tidak ada, maka perlu dijajaki berapa biaya pembuatan media yang dibutuhkan tersebut jika harus dikerjakan pembuatannya oleh pihak lain.

Apabila dinilai penting untuk mengirimkan guru tertentu mengikuti pelatihan tentang pengembangan jenis media yang dibutuhkan sekolah, yang perlu dipertimbangkan adalah berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengikuti pelatihan. Hal lainnya yang perlu dipertimbangakan pula adalah apakah guru yang akan dikirim untuk mengikuti pelatihan tersebut mempunyai waktu yang memadai, baik selama pelatihan berlangsung maupun dalam mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan sekolah.

Selain biaya untuk pengembangan atau pengadaan media pembelajaran, hendaknya juga dipertimbangkan apakah nantinya peralatan yang dibutuhkan untuk memanfaatkan media pembelajaran yang akan dikembangkan atau dibeli tersebut sudah tersedia di sekolah. Apabila belum, maka biaya untuk pengadaan peralatan pemanfaatan medianya perlu dikaji, apakah dana yang tersedia masih juga dapat meng-akomodasikannya. Manakala tidak mencukupi biayanya, maka perlu ditentukan prioritas mana yang akan lebih dahulu dipenuhi.


c. Ketersediaan Peralatan Pemanfaatan Media Pembelajaran

Tidak terlalu bermanfaat untuk merancang dan mengembangkan media secanggih apa pun jika tidak didukung oleh ketersediaan peralatan pemanfaatannya di sekolah. Apa artinya tersedia media pembelajaran online misalnya, apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet dan juga didukung oleh fasilitas Local Area Network (LAN). Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan jauh lebih bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya telah tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat.

Selain ketersediaan peralatan/fasilitas pemanfaatan media, sumber energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan perlu juga dipertimbangkan. Apabila listrik belum masuk sekolah, tentunya yang menjadi fokus pemikiran adalah pengembangan media sederhana yang tidak harus membutuhkan energi listrik. Dalam hal ini tentunya yang diprioritaskan adalah media sederhana yang peralatan pemanfaatannya dapat dioperasikan dengan menggunakan energi batere, misalnya. Demikian juga dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan media sederhana tidaklah terlalu sulit.

d. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran

Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/mempesona atau menjanjikan (promising) yang dilakukan oleh tenaga marketing misalnya, sehingga sekolah langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan. Namun sebelum membeli media pembelajarannya (program), tenaga marketing meyakinkan pimpinan sekolah untuk terlebih dahulu membeli peralatan pemanfaatannya. Setelah peralatan pemanfaatan ini dibeli oleh sekolah misalnya, ternyata di antara para guru tidak ada atau belum ada yang tahu tentang cara-cara mengoperasikannya. Di samping itu, media pembelajaran yang ditawarkan ternyata tidak mudah didapatkan di pasaran, harus memesan terlebih dahulu. Pemesanan ini tentunya juga membutuhkan waktu yang tidak cepat.

Setelah media pembelajaran yang dipesan diterima sekolah dan kemudian dilakukan telaah, dapat saja terjadi bahwa kandungan materi pelajarannya sedikit sekali yang relevan dengan kebutuhan peserta didik (dangkal atau melebar). Sebaliknya, dapat juga terjadi bahwa materi pelajaran yang dikemas di dalam media yang dipesan memang sangat cocok dan membantu mempermudah peserta didik memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi masalah dalam hal ini adalah tidak mudahnya mendapatkan media pembelajaran tersebut di pasaran.

e. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran

Aspek lain yang juga penting dipertimbangkan dalam pemilihan media adalah kemudahan guru atau peserta didik untuk memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri maupun yang dikontrakkan pembuatannya (atau dibeli) tetapi tidak mudah dimanfaatkan baik oleh guru maupun peserta didik. Media pembelajaran yang akan dikembangkan atau dibeli haruslah yang memang mudah dimanfaatkan. Tidak ada gunanya apabila media pembelajaran yang dibeli hanya dijadikan sebagai pajangan di sekolah.

Manakala media pembelajaran yang akan dibeli sekolah membutuhkan pelatihan tertentu bagi guru, maka hendaknya pelatihan tersebut tidak terlalu membebani guru. Artinya, media pembelajaran yang dibutuhkan tersebut sebenarnya telah familiar bagi guru, namun para guru membutuhkan sedikit waktu untuk mempelajari cara-cara memanfaatkannya. Atau, dapat saja bahwa guru yang telah memiliki kesiapan dalam arti pengetahuan dan keterampilan tentang media pembelajaran yang akan dibeli sekolah, diberi prioritas untuk melakukan pemanfaatannya di kelas. Guru inilah yang kemudian diminta untuk melatih teman-teman guru lainnya.

C. Kecenderungan Sikap Guru terhadap Media Pembelajaran

Ada beberapa kecenderungan sikap guru terhadap kemungkinan pemanfaatan media pembelajaran di dalam proses belajar-mengajar. Beberapa kecenderungan sikap guru ini dapat dilihat dari beberapa kemungkinan pola-pola pembelajaran seperti yang disajikan pada skema 1 berikut ini. Pola-pola pembelajaran pada skema 1 berikut ini dikembangkan atas dasar pemikiran Yusufhadi Miarso(Miarso, 1970).

Skema 1

Bagan Pola-Pola Pembelajaran

Kurikulum

1

2

3

4

5

GURU

GURU--MEDIA

GURU

MEDIA

MEDIA

I

I

MEDIA

I

I

I

I

I

GURU

I

I

I

I

I

I

PESERTA DIDIK

Dari skema 1 tersebut di atas, ada 4 fungsi/peranan media pembelajaran dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, yaitu sebagai berikut:

  1. Guru menjabarkan isi kurikulum ke dalam satuan pelajaran (lesson plan) yang disajikan guru kepada para peserta didik. Dalam kaitan ini, guru merupakan satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru adalah pemegang kendali sepenuhnya tentang keseluruhan proses belajar-mengajar. Para peserta didik juga sangat tergantung pada kehadiran guru di dalam kelas. Secara ekstrim, tiada guru berarti tidak terjadi kegiatan belajar-mengajar karena guru adalah sumber belajar tunggal bagi peserta didik di sekolah. Dalam keadaan yang demikian ini, guru dapat saja mengembangkan sikap yang resistan terhadap kehadiran media pembelajaran karena dinilai akan mengambil alih perannya sebagai guru. Berarti media pembelajaran menjadi kompetitor bagi guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar (1).

  1. Guru dan media membagi fungsi/peranan secara seimbang dalam membelajarkan para peserta didiknya. Isi kurikulum yang harus dipelajari para peserta didik dijabarkan ke dalam 2 komponen, yaitu komponen guru di satu sisi dan komponen media di sisi lain. Materi pelajaran yang bagaimana yang secara optimal dapat disajikan oleh guru kepada para peserta didiknya, maka materi pelajaran tersebut sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru. Demikian juga halnya dengan media pembelajaran. Dalam kaitan ini, guru memperlakukan media pembelajaran sebagai mitranya dalam membelajarkan para peserta didik. Ada pembagian peran/fungsi yang seimbang antara guru dan media pembelajaran.

Pembagian peran/fungsi yang jelas antara guru dan media pembelajaran dalam menyajikan isi kurikulum kepada peserta didik adalah model yang ideal. Untuk dapat tiba pada model ideal ini memang diperlukan beberapa tahapan kegiatan misalnya: sosialisasi media pembelajaran, pelatihan guru tentang pengembangan dan pemanfaatan media pembelajaran, pengadaan media pembelajaran dan peralatannya, pelatihan cara-cara pengoperasian pemanfaatan media pembelajaran, sampai dengan berkembangnya media-minded di kalangan para guru dan Kepala Sekolah.

Apabila keadaan yang demikian ini telah tercapai (para guru dan Kepala Sekolah telah media-minded) di mana para guru dan Kepala Sekolah telah meyakini bahwa media pembelajaran dapat membantu guru memudahkan para peserta didik untuk memahami materi pelajaran, maka terciptalah kondisi yang kondusif untuk pembagian peran/fungsi yang jelas dan seimbang antara guru dan media pembelajaran dalam kegiatan belajar-mengajar (2).

  1. Guru dan media pembelajaran berada dalam kotak yang sama. Isi kurikulum dijabarkan guru ke dalam materi pembelajaran yang berbentuk satuan pelajaran (lesson plan) untuk disajikan kepada para peserta didik. Penggunaan media pembelajaran adalah sepenuhnya tergantung pada sikap guru dan atau penugasan yang diberikan oleh Kepala Sekolah. Apabila guru memandang tidak perlu memanfaatkan media pembelajaran, maka tidak akan terjadi pemanfaatan media pembelajaran di dalam kelas.

Sebaliknya dapat terjadi bahwa apabila guru memandang perlu untuk memanfaatkan media pembelajaran untuk menunjang materi pelajaran tertentu, maka guru akan memanfaatkan media. Atau, pemanfaatan media pembelajaran dilakukan karena adanya instruksi dari Kepala Sekolah. Dalam kaitan ini, guru masih tetap berperan sangat dominan untuk menentukan apakah akan memanfaatkan media pembelajaran atau tidak di dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Fungsi/peranan media pembelajaran tidak digariskan secara jelas tetapi sangat tergantung pada sikap guru dan Kepala Sekolah (3).

  1. Media mempunyai fungsi/peranan yang sangat besar dan guru hanya berperan/berfungsi sebagai fasilitator apabila peserta didik membutuhkannya. Isi kurikulum dijabarkan ke dalam berbagai jenis media oleh para ahli materi pelajaran dari perguruan tinggi (subject-matter specialists), guru mata pelajaran dari sekolah (subject-matter teacher), dan ahli media pembelajaran (instructional media specialists), dan ahli pengembangan kurikulum (curriculum development specialists). Dalam pola pembelajaran ini, media merupakan sumber belajar utama bagi peserta didik. Sedangkan fungsi guru sangat terbatas, yaitu memfasilitasi kegiatan pembelajaran apabila ada peserta didik yang mengalami kesulitan atau masalah (fasilitator).

Materi pelajaran yang dikemas ke dalam media pembelajaran dilakukan secara profesional sehingga memungkinkan dipelajari oleh para peserta didik secara mandiri. Pada umumnya, media pembelajaran yang berfungsi sebagai sumber belajar utama dikemas dalam bentuk media cetak (modul). Apabila ada media pembelajaran lainnya yang digunakan, maka fungsinya hanya sebagai media penunjang terhadap media cetak. Peserta didik lebih banyak berinteraksi dengan media pembelajaran dalam kegiatan belajarnya. Manakala menemui kesulitan atau masalah, maka peserta didik dapat menemui guru atau nara sumber untuk mendiskusikannya (4).

  1. Dalam kondisi tertentu, isi kurikulum yang perlu dipelajari para peserta didik dijabarkan oleh para ahli pembelajaran dan ahli media ke dalam beberapa jenis media pembelajaran. Para peserta didik dapat langsung berinteraksi dengan media pembelajaran yang berfungsi sebagai pengganti guru. Beberapa lembaga pendidikan dan atau pelatihan telah menerapkan model kegiatan pembelajaran di mana materi pembelajaran sepenuhnya dikemas ke dalam media.

Tentu saja media yang digunakan dapat bervariasi disesuaikan dengan jenis materi pelajarannya itu sendiri dan juga dengan karakteristik media yang digunakan. Media pembelajaran yang digunakan dapat berupa media cetak ditunjang media kaset audio, media cetak ditunjang media audio dan video, media cetak ditunjang dengan media compact disc (CD) atau video-compact disc (VCD), atau media internet. Di samping itu, para peserta didik juga masih dimungkinkan untuk mendapatkan layanan bantuan belajar melalui komunikasi dengan nara sumber apabila mereka mengalami kesulitan dalam kegiatan belajarnya.

Dari kelima pola pembelajaran yang telah diuraikan di atas tampaklah bahwa media pembelajaran yang diperlakukan sebagai mitra oleh guru ada pada pola pembelajaran 2.

Guru menjabarkan isi kurikulum ke dalam dua bagian, yaitu yang akan dikemas dan disajikan sendiri kepada peserta didiknya dan bagian yang lain adalah yang dirancang dan disajikan melalui media. Dalam hal ini, tentunya dilakukan pemilahan materi pelajaran. Materi pelajaran yang memang cocok untuk disajikan melalui media sesuai dengan potensi dan karakteristiknya, maka biarlah materi pelajaran tersebut menjadi tanggungjawab media. Apabila materi pelajaran tertentu dinilai lebih sesuai untuk disajikan guru, maka biarlah materi pelajaran tersebut menjadi tanggungjawab guru. Di sinilah pembagian fungsi/peranan yang jelas dan seimbang antara guru dan media pembelajaran.

Pada pola pembelajaran 3 terbukalah peluang apakah guru meyakini perlu adanya fungsi/peran media pembelajaran dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas di samping dirinya atau sebaliknya, guru memandang media pembelajaran sebagai pelengkap atau “tempelan” saja. Manakala pemahaman guru berkembang positif terhadap media pembelajaran, maka secara bertahap guru akan melakukan pembagian tugas atau peran dengan media dalam membelajarkan peserta didiknya. Tetapi jika guru berpendapat bahwa media sebagai sesuatu yang merepotkan dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya, maka yang menjadi kecenderungan guru adalah guru secara bertahap akan mulai memperlakukan media pembelajaran sebagai “rival atau saingan” dalam membelajarakan peserta didik. Posisi guru yang demikian ini akan cenderung bergerak ke posisi guru pada pola pembelajaran 1.

Fungsi/peranan guru pada pola pembelajaran 1 adalah sebagai satu-satunya sumber belajar dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dapat saja terjadi kekhawatiran di dalam diri guru tentang kemungkinan media pembelajaran akan menggeser atau bahkan menggantikan fungsi/peranannya sebagai guru. Kekhawatiran guru yang demikian ini akan menggiring dirinya memperlakukan media pembelajaran sebagai saingan atau kompetitor dalam membelajarkan peserta didik.

Akhirnya, media pembelajaran dapat menjadi mitra atau kompetitor bagi guru adalah sangat tergantung pada pemahaman dan sikap guru terhadap fungsi/peranan media pembelajaran di samping tentunya peranan dari para pengambil kebijakan.

D. Simpulan dan Saran

1. Simpulan

Media pembelajaran mempunyai 3 fungsi/peranan dalam konteks kegiatan belajar-mengajar.

Pertama, media pembelajaran mempunyai fungsi/peranan yang jelas dan seimbang, serta saling melengkapi dengan fungsi/peranan guru dalam kegiatan pembelajaran. Media pembelajaran diperlakukan guru sebagai mitra yang mempunyai tanggungjawab yang sama. Karena itu, ada pembagian tugas dalam mengelola kegiatan pembelajaran.

Kedua, media pembelajaran mempunyai fungsi/peranan yang sangat kecil, yaitu tergantung dari sikap guru yang berfungsi sebagai pengelola kegiatan pembelajaran. Media pembelajaran hanya digunakan sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Pemanfaatan media pembelajaran tidak dilakukan secara terencana. Jadi, media pembelajaran diperlakukan guru hanya sebagai tempelan.

Ketiga, media pembelajaran mempunyai peran/fungsi yang sangat besar, yaitu dapat menggantikan keberadaan guru (educational media as a substitute). Dengan kata lain, guru memandang media pembelajaran sebagai kompetitor atau rival. Menghadapi fungsi media pembelajaran yang demikian ini, guru menjadi sangat khawatir tentang kemungkinan peran atau posisinya diambil alih oleh media pembelajaran. Karena itu, guru mengembangkan sikap resistansi terhadap kemajuan peran/fungsi media pembelajaran.

2. Saran-saran

Memperhatikan ketiga fungsi/peranan media pembelajaran sebagaimana tersebut di atas, dituntut adanya upaya pengembangan sikap positif para guru terhadap fungsi/peranan media pembelajaran. Kepada guru juga perlu ditekankan terutama oleh institusi pembina guru agar mengubah pandangan/pemikiran yang negatif tentang media pembelajaran. Karena media pembelajaran merupakan salah satu sumber belajar yang memiliki potensi untuk membantu mempermudah guru menyajikan materi pelajaran yang sulit jika hanya mengandalkan aspek verbal.

Pemanfaatan media pembelajaran di kelas haruslah dilakukan secara terencana. Artinya, guru harus terlebih dahulu mempelajari materi pelajaran yang dikemas di dalam setiap media pembelajaran yang akan dimanfaatkan. Berdasarkan kegiatan ini dan sesuai dengan jadwal pelajaran, guru membuat perencanaan kapan masing-masing media pembelajaran akan dimanfaatkan. Catatan-catatan guru tentang setiap media pembelajaran juga akan sangat bermanfaat pada saat sebelum, selama, atau sesudah media pembelajaran dimanfaatkan.

Daftar Acuan

Demiray, Ugur. (2004). Defining of Distance Education. Sumbernya dari website: <http://home.anadolu.edu.tr/-udemiray/&Histo.htm> (diakses tanggal 5 Agustus 2004).

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Haryono, Anung, dkk. (eds.). (1984). Teknologi Komunikasi Pendidikan: Pengertian dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Heinich, Robert. (1970). Technology and the Management of Instruction. Wahington, D.C.: Association for Educational Communications and Technology.

Haryono, Anung, dkk. (eds.). (2004). A Module on Self-Learning Material: The Concept and the Format. Jakarta: SEAMEO Regional Open Learning Center (SEAMOLEC).

Ozkul, Ali Ekrem. (2004). Anadolu University Distance Education System: From Emergence to 21st Century. Turkey: Open Education Faculty, Anadolu University.

Rahardjo, Raphael, (1984). ‘Media Pembelajaran’ dalam Haryono, dkk (eds.). (1984). Teknologi Komunikasi Pendidikan: Pengertian dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Miarso, Yusufhadi. (1984). ‘Teknologi Komunikasi Pendidikan: Konsepsi, Perkembangan, dan Pengaruhnya’ dalam Haryono, Anung, dkk. (eds.). (1984). Teknologi Komunikasi Pendidikan: Pengertian dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Siahaan, Sudirman. (2000). Penyusunan Garis-Garis Besar Isi Modul. Modul Pelatihan Penyusunan Modul. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Siahaan, Sudirman. (2004). “Studi Kasus: Pemanfaatan Media secara Terpadu (Media Kaset Audio dan Modul) dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di SMP Terbuka Gelumbang-1 Sukarami, Muara Enim, Sumatera Selatan”, makalah hasil penelitian yang disajikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran yang bertemakan Menghadapi Tantangan Daya Saing SDM Nasional dan Internasional, tanggal 1-2 Desember 2004 di Jakarta.

Sudirdjo, Sudarsono. (2000). Pengitegrasian Media Audiovisual dalam Modul. Modul Pelatihan Penyusunan Modul. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional.

Siahaan, Sudirman. 2002. ‘Penelitian Penjajagan tentang Kemungkinan Pemanfaatan Internet untuk Pembelajaran di SLTA di Wilayah Jakarta dan Sekitarnya’ dalam Jurnal Pendidikan, No.: 039 Tahun Ke-8, November 2002, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan-Departemen Pendidikan Nasional.

Schramm, Wilbur. (1977). Big Media, Little Media. Beverly Hills: Sage Publications.

Briggs, Leslie J. (1977).

Bretz, Rudy. (1971).

Lewis. (2002).