Mengapa Kebiasaan Membaca Masih Belum Berkembang?
Sudirman Siahaan*) dan Rr Martiningsih**)
pakdirman@yahoo.com dan tinink@gmail.com
Sudirman Siahaan*) dan Rr Martiningsih**)
pakdirman@yahoo.com dan tinink@gmail.com
Abstrak
Kegiatan membaca merupakan jendela dunia. Dengan banyak membaca berarti seseorang dapat memperoleh berbagai informasi yang berkembang, baik yang sifatnya lokal, nasional maupun yang global. Melalui kegiatan membaca, seseorang dapat belajar mengenai berbagai hal mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang kompleks, misalnya membuat berbagai jenis kerajinan tangan, membuat berbagai jenis penganan, dan merakit radio transistor atau komputer. Tetapi, mengapa kegiatan membaca masih juga belum menjadi kebiasaan hidup masyarakat Indonesia? Mengapa kegiatan membaca belum bisa menjadi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia? Apakah masalah ini berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia yang masih memprihatinkan? Apakah dunia pendidikan/pelatihan (terutama para guru/dosen/widyaiswara) yang belum mampu mengkondisikan berkembangnya minat baca di kalangan para peserta didik dan masyarakat pada umumnya? Apakah keluarga atau orangtua juga belum mengoptimalkan perannya dalam menumbuh-kembangkan minat baca para anaknya? Apakah media massa belum optimal berperanserta untuk menyosialisasikan pentingnya kegiatan membaca dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari? Mengapa kegiatan membaca ini belum berkembang menjadi kegemaran atau kebiasaan di kalangan masyarakat Indonesia?. Tentunya banyak faktor yang menjadi penyebab belum berkembangnya kebiasaan membaca. Di dalam tulisan ini, yang menjadi fokus pembahasan adalah berbagai upaya yang dipandang/dinilai dapat menciptakan kondisi yang mendorong orang untuk membiasakan dirinya untuk banyak membaca.
Kata-kata kunci: membaca, kebiasaan atau kegemaran membaca, dan pentingnya kegiatan membaca dalam pengembangan kualitas diri.
-------------------------------------
*) Sudirman Siahaan adalah tenaga fungsional peneliti bidang pendidikan pada Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom)-Departemen Pendidikan Nasional.
**) Rr. Martiningsih, M.Pd. adalah guru matematika dan Kasi Reseach and Development, Lembaga Pendidikan Al Muslim Sidoarjo-Jawa Timur.
A. Pendahuluan
Mengapa masyarakat Indonesia (baik anak-anak maupun orang dewasa) kurang berminat membaca? Padahal jika dicermati sejenak tentang perkembangan sepuluh tahun terakhir mengenai penerbitan majalah dan koran, maka akan tampak bahwa jumlah penerbitan, baik nama/judul maupun jumlahnya meningkat. Mestinya keadaan yang demikian ini mencerminkan bahwa jumlah orang yang berminat membaca semakin meningkat juga. Tetapi agaknya minat membaca ini masih hanya sebatas pada membaca koran dan majalah. Sedangkan minat baca untuk buku-buku yang memuat pengetahuan yang menyebabkan masyarakat menjadi cerdas dan mampu bersaing di berbagai bidang dengan masyarakat lain di dunia internasional (http://www.cybertokoh.com/mod).
Pada umumnya, orang belajar membaca pada saat mereka pertama sekali memasuki lembaga pendidikan, baik yang disebut Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) maupun Sekolah Dasar (SD). Belum semua anak usia pra sekolah mempunyai kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan di sekolah TK, baik karena kondisi orangtua yang tidak memungkinkan maupun karena sekolah TK-nya yang belum tersedia di lingkungan yang terjangkau. Sekalipun demikian, ada sebagian kecil orangtua (educated families) yang membimbing anak-anaknya belajar membaca sehingga memiliki kemampuan membaca dan kemungkinan juga menulis sebelum masuk ke lembaga pendidikan TK.
Bagaimana dengan anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang atau tidak berpendidikan sama sekali atau lingkungan keluarga yang kurang beruntung dari segi sosial ekonomi? Adalah sangat beruntung apabila anak-anak dari lingkungan keluarga yang demikian ini masih sempat menikmati pendidikan SD. Bagaimana jadinya jika karena satu dan lain hal, anak-anak dari lingkungan keluarga yang kurang/tidak berpendidikan atau yang kurang keadaan sosial ekonominya ini, tidak sempat atau tidak memungkinkan sama sekali menikmati pendidikan SD? Tentunya mereka ini berkontribusi terhadap bertambahnya jumlah penduduk yang buta aksara.
Membelajarkan anak-anak untuk dapat membaca dan menulis (baca tulis) dinilai lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan membelajarkan orang dewasa untuk hal yang sama. Oleh karena itu, masa kanak-kanak menjadi masa yang potensial dan strategis yang seyogianya dioptimalkan untuk membelajarkan anak-anak agar memiliki kemampuan membaca dan menulis. Sekalipun seseorang telah memiliki kemampuan dan keterampilan dasar membaca dan menulis, namun masih dituntut adanya kegiatan pembinaan baca tulis agar yang bersangkutan tidak kembali menjadi buta aksara. Pembinaan kegiatan membaca dan menulis ini masih terus dapat dinikmati anak-anak apabila mereka melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kegiatan membaca dan menulis memang tidak hanya menjadi monopoli sistem pendidikan persekolahan tetapi juga di lingkungan pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah. Dari tahun ke tahun, perkembangan jumlah masyarakat Indonesia yang buta aksara diekspose disertai dengan keberhasilan yang dicapai, berbagai permasahan yang dihadapi, dan juga berbagai dampak yang diakibatkannya. Oleh karena itu, adalah hal yang menarik untuk mengetahui bagaimana gambaran umum kebiasaan membaca masyarakat Indonesia. Berbagai tulisan dapat dibaca mengenai masih memprihatinkannya minat baca masyarakat Indonesia. Rendahnya minat baca ini juga mengindikasikan masih belum berkembangnya kebiasaan membaca masyarakat Indonesia.
Minat dan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia yang masih rendah ini dapat dilihat melalui berbagai indikator. Apa yang cenderung dilakukan orang yang mau berobat yang sedang menunggu giliran di ruang praktek dokter atau di rumah sakit? Apakah ada yang menggunakan waktunya untuk membaca bahan-bahan bacaan, baik yang disediakan maupun yang sengaja dibawa sendiri dari rumah? Pada umumnya jika diamati, maka akan lebih banyak orang yang menggunakan waktunya berdiam diri atau mengobrol. Demikian juga halnya dengan mereka yang sedang menunggu keberangkatan kereta api, pesawat terbang atau angkutan jemputan kantor. Masih sangat langka untuk melihat orang menggunakan waktunya membaca selama mereka sedang berada dalam penantian.
Lebih spesifik lagi, di lingkungan mereka yang sedang mengikuti pendidikan di SD, SMP, SM, atau bahkan di perguruan tinggi, berapa banyak jumlah peserta didik yang menggunakan waktunya untuk membaca setiap hari? Atau, berapa banyak rata-rata jumlah buku yang dibaca oleh setiap peserta didik setiap minggu, bulan, atau semester? Apakah kebiasaan membaca atau kegemaran membaca ini sudah ditumbuh-kembangkan orangtua di dalam diri anak di rumah sebelum mereka memasuki lembaga pendidikan TK atau SD? Bagaimana kemampuan membaca para peserta didik? Kemudian, selama mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan, apakah kebiasaan membaca peserta didik terus dikembangkan atau ditingkatkan oleh para guru? Apakah para guru sendiri juga sudah mengembangkan kebiasaan membaca? Bagaimana pula di lingkungan masyarakat? Apakah lingkungan masyarakat juga sudah kondusif terhadap pengembangan minat dan kebiasaan membaca?
Tentunya sangat berbeda apabila kita melihat atau menjumpai orang asing (dari negara Barat atau Eropa) yang berada di Indonesia. Pada umumnya, mereka ini menggunakan waktu luangnya untuk membaca apabila mereka sedang istirahat di kolam renang, atau sedang dalam perjalanan naik kereta api, bus, atau pesawat. Dengan kebiasaan membaca masyarakat yang relatif sudah tinggi seperti yang terjadi di negara-negara maju, maka kegiatan pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas membaca yang teratur tidak lagi menjadi kendala. Mengapa?
Bagi masyarakat yang telah membiasakan dirinya membaca atau bahkan membudayakan kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari (membaca sebagai kebutuhan hidup sehari-hari), maka manifestasinya tampak dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terlepas dari aktivitas membaca. Kegiatan membaca akan menjadi salah satu aktivitas yang dilakukan orang per orang dalam pengisian waktu luang. Keadaan yang demikian inilah yang masih langka tampak dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tampaknya hanya sebagian kecil jumlah masyarakat Indonesia yang mengisi waktu luangnya dengan kegiatan membaca. Bahkan bagi kelompok masyarakat ini, kegiatan membaca juga dilakukan pada saat makan, dalam perjalanan yang sedang macet, atau sedang nongkrong buang air besar.
B. Pembahasan
1. Mengapa Kebiasaan Membaca Masyarakat Relatif Rendah?
Memang selain masih kentalnya budaya lisan bagi masyarakat kita, faktor keterbatasan buku bacaan yang baik dan menarik, keterjangkauan daya beli masyarakat, serta keterbatasan penyebaran bahan-bahan bacaan juga menjadi titik pemicu rendahnya minat baca bangsa Indonesia. Selain itu, slogan untuk menumbuhkan minat baca buku yang dibuat pemerintah seperti: ”Budayakan membaca buku”, ”Buku adalah jendela dunia”, ”Biasakan memberi hadiah buku”, dapat dikatakan masih belum sepenuhnya menjangkau masyarakat, khususnya masyarakat di lapisan bawah, baik yang berada di daerah perkotaan maupun perdesaan, kecuali anak-anak sekolah yang kebetulan mendapat pinjaman buku-buku paket pelajaran dari sekolah. Hal ini berarti bahwa pemasyarakatan minat dan kebiasaan membaca melalui berbagai slogan saja tak cukup, masih perlu dilanjutkan dengan berbagai aksi atau kegiatan-kegiatan konkrit.
Harian umum Kompas mengungkapkan bahwa buku pelajaran belum dapat meningkatkan minat baca (Kompas, 5 Mei 1997). Lebih jauh lagi dikemukakan bahwa rendahnya minat baca disebabkan oleh faktor budaya, kesenangan berkumpul untuk “ngobrol”, menariknya acara-acara yang ditayangkan media elektronik, dan langkanya bahan bacaan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembaca. Sebagaimana yang sering diperbincangkan, baik dalam berbagai forum/pertemuan ilmiah, maupun yang diekspos oleh berbagai media cetak bahwa kebiasaan atau minat baca masyarakat Indonesia dinilai masih relatif rendah dibandingkan dengan kebiasaan atau minat baca masyarakat di negara-negara tetangga.
Rendahnya minat baca atau kebiasaan membaca masyarakat Indonesia menurut Dwi Purwoko, pengamat sosial dan budaya LIPI, sangat terkait dengan keadaan keluarga yang belum kondusif untuk menumbuh-kembangkan “budaya baca” anak-anak (Purwoko, 1997). Sebagai salah satu indikator untuk menunjukkan masih relatif rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah rasio pembaca surat kabar. Menurut Dwi Purwoko yang merujuk pada data dari World Press Trends, rasio pembaca koran di Indonesia adalah 1: 40 (perbandingan jumlah surat kabar dengan jumlah penduduk). Hal ini berarti bahwa satu surat kabar dibaca oleh 40 orang Indonesia. Sangat jauh berbeda keadaannya dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia.
Sebagai contoh misalnya di Singapura, rasio surat kabar sangat tinggi, yaitu 1 : 3 (satu surat kabar hanya dibaca oleh 3 orang) dan di Malaysia adalah 1 : 8 (satu surat kabar hanya dibaca oleh 8 orang). Lebih jauh, Dwi Purwoko menjelaskan bahwa peningkatan minat baca masyarakat sangat terkait dengan peran keluarga karena melalui pendidikan keluarga, jiwa "gemar membaca" bisa dibentuk (Purwoko, 1997).
Contoh lainnya adalah gambaran tentang perbedaan kemampuan membaca para peserta didik Indonesia dengan peserta didik di beberapa negara tetangga Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Hieronymus Budi Santoso (Kompas, 25 September 1996). Kemampuan membaca peserta didik Indonesia hanya 51,7% yaitu jauh lebih rendah dibandingkan dengan peserta didik di Thailand (65,1%), Singapura (74,0%), dan Hongkong (75,5%).
Apakah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini berhubungan dengan konteks budaya yang ada? Apakah rendahnya minat baca ini juga berhubungan dengan tingkat kesejahteraan sosial masyarakat? Atau, apakah rendahnya minat baca ini berhubungan dengan kondisi pendidikan formal persekolahan yang belum mampu menumbuh-kembangkan kebiasaan atau minat baca para peserta didik?
a. Minat Baca dan Budaya Bangsa
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang cenderung lebih mengembangkan budaya lisan dengar (Kompas, 1 Februari 1996) dibandingkan dengan budaya tulis sekalipun sebenarnya budaya tulis telah lama dikenal dan dimulai penggunaannya. Salah satu bukti telah digunakannya bahasa tulis adalah penggunaan daun lontar atau kulit kayu sebagai media untuk menulis pada beberapa abad yang lalu. Namun dalam perkembangannya, justru yang sebaliknya yang terjadi, yaitu budaya lisan yang lebih banyak dikembangkan.
Berbagai bentuk ungkapan budaya yang berupa kesenian yang berkembang di berbagai daerah memperlihatkan bahwa budaya lisan yang lebih menonjol dikembangkan. Sebagai contoh misalnya adalah pewarisan pengetahuan atau pendadaran untuk menjadi seorang dalang wayang kulit atau wayang orang. Calon dalang dapat dikatakan belajar dengan cara memperhatikan atau mengamati dan mengikuti sang dalang mendalang (learning by observing, listening, and doing).
Tidak hanya sekedar mengamati dan mengikuti sang dalang melakukan kegiatan mendalang, tetapi juga terlibat langsung dalam membantu sang dalang melakukan berbagai persiapan, baik dalam rangka menyelenggarakan pementasan (mendalang) maupun untuk menyimpan, merawat, dan membersihkan wayang dan peralatan lainnya. Dalam interaksi yang terus-menerus inilah terjadi proses pembelajaran dari seorang dalang kepada calon dalang.
Dengan keteraturan dan kesungguhan untuk melakukan pengamatan terhadap cara dalang mendalang dan kemudian mencoba belajar menirukannya setahap demi setahap dengan bimbingan sang dalang, maka pada akhirnya, calon dalang mampu memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mempraktekkannya. Demikianlah seterusnya proses yang sama dilakukan untuk menghasilkan dalang baru.
Penggunaan bahasa tulis untuk belajar menjadi dalang kemungkinan sekali masih belum ada yang memulai. Artinya, budaya lisan yang sangat dominan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sejauh ini tampaknya belum ada lembaga pendidikan formal (sekolah) yang secara khusus mempersiapkan seseorang untuk menjadi dalang. Bahan-bahan belajar tertulis juga kemungkinan dipersiapkan sehingga dapat dipelajari oleh siapa saja yang berkeinginan menjadi dalang. Demikian juga halnya dengan pewarisan nilai-nilai kesenian tradisional lainnya, seperti: ludruk atau ketoprak.
Bahasa adalah bagian dari budaya. Pertanyaannya adalah bagaimana seorang anak belajar memahami dan menggunakan bahasa ibu? Sebagian besar kegiatan membelajarkan anak memahami dan menggunakan bahasa ibu adalah juga dilakukan secara lisan sekalipun memang ada aksara bahasa ibu.
Apakah semua penutur bahasa ibu dapat menuliskan aksaranya (bukan penulisan bahasa ibu dalam pengertian bahasa Latin)? Belum tentu semua orangtua yang menggunakan bahasa ibu mampu menuliskan aksaranya. Yang kemungkinan lebih memprihatinkan lagi adalah apakah aksara bahasa ibu masih akan eksis apabila pelestariannya tidak dilakukan melalui budaya tulis? Apakah mempelajari dan menguasai bahasa ibu secara tertulis hanya akan menjadi konsumsi kaum elit akademisi saja?
Di kelompok masyarakat etnis tertentu, telah membudaya untuk memiliki kemampuan membaca dan menulis sehingga di kalangan etnis ini sangat sulit untuk menemukan anggota masyarakat yang buta aksara. Ataupun kalau ada, jumlahnya sangat kecil. Mengapa? Dari semenjak anak-anak sampai dengan orangtua, berkaitan dengan kehidupan beragama, maka masyarakat etnis ini dikondisikan untuk dapat membaca aksara Latin. Kemampuan membaca dituntut dari setiap anggota masyarakat ini dalam kegiatan hidup beragama. Oleh karena itu, kegiatan membaca menjadi kegiatan yang fungsional dalam kehidupan masyarakat.
Bahkan para orangtua mengembangkan sikap yang sangat peduli dengan pendidikan para anaknya. Sebagai contoh, misalnya orangtua rela menjual harta bendanya asalkan anak-anaknya dapat bersekolah setinggi-tingginya, atau orangtua rela hanya makan sehari-hari dengan makanan seadanya atau bahkan juga rela makan kurang dari tiga kali sehari asalkan anak-anaknya dapat terus bersekolah.
b. Minat Baca dan Kesejahteraan Sosial Masyarakat
Tingkat kesejahteraan sosial masyarakat sangat menentukan apakah para orangtua akan mengirimkan anak-anaknya mengikuti pendidikan di TK, SD atau ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Apabila orangtua memiliki penghasilan yang memadai sehingga memungkinkan menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membiayai anak-anaknya mengikuti pendidikan, maka para orangtua tentunya akan menyekolahkan anak-anaknya untuk mengikuti pendidikan setinggi mungkin.
Minat baca di kalangan keluarga yang tingkat kesejahteraan sosialnya relatif tinggi (masyarakat berpenghasilan memadai ke atas) lebih mendapat perhatian karena memang dituntut oleh lembaga pendidikan sekolah untuk membaca, setidak-tidaknya buku-buku pelajaran. Membeli buku kemungkinan besar tidak terlalu menjadi masalah bagi kalangan masyarakat ini.
Yang justru menjadi masalah adalah menumbuh-kembangkan kegiatan membaca menjadi suatu kebiasaan di tengah-tengah keluarga. Apalah artinya banyak tersedia buku atau bahan bacaan dalam suatu keluarga apabila kegiatan membaca belum menjadi kebiasaan hidup sehari-hari? Kegiatan membaca hanya dilaksanakan karena ada keterpaksaan, misalnya karena ada tugas-tugas yang diberikan guru di sekolah sehingga mengharuskan dilakukannya kegiatan membaca.
Di kalangan para orangtua juga, kegiatan membaca tampaknya masih belum sepenuhnya menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Artinya, para orangtua masih belum sampai pada tahap di mana apabila mereka tidak membaca setiap hari, maka akan timbul perasaan yang kurang lengkap dalam hidupnya. Itulah sebabnya, membaca itu masih belum dirasakan sebagai suatu kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi.
Memang menjadi masalah untuk menyekolahkan anak-anak di kalangan orangtua yang kondisi atau kemampuan finansialnya relatif rendah atau dapat dikatakan bahwa untuk mempertahankan hidup keluarga mereka saja sudah sulit. Sudah dapat dipastikan bahwa anak-anak dari kalangan keluarga ini pasti tidak akan mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan. Di sinilah sebenarnya, peranan Pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga negara tanpa memandang bulu untuk dapat menikmati layanan pendidikan sampai pada pendidikan dasar 9 tahun. Peran pemerintah ini sudah dilakukan dengan menyediakan berbagai bentuk layanan pendidikan yang memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya. Peran tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan untuk menyosialisasikan pemahaman tentang pentingnya pendidikan dalam memeprsiapkan masa depan anak-anak.
Bagaimana minat baca di kalangan anak-anak yang sama sekali tidak sempat menikmati pendidikan SD atau juga yang tidak mungkin dapat menyelesaikan pendidikan SD? Mereka inilah yang kemudian menjadi kontributor terhadap jumlah penduduk yang buta aksara. Peranan pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah sangat diharapkan untuk memberikan kesempatan belajar membaca dan menulis bagi warga masyarakat yang di masa kanak-kanaknya atau remajanya terkendala dalam menikmati layanan pendidikan.
c. Minat Baca dan Peran Orangtua
Peran orangtua dinilai masih belum sepenuhnya mengkondisikan rumahnya sebagai tempat persemaian untuk tumbuh dan berkembangnya rasa ingin atau gemar membaca di dalam diri para anak-anaknya. Bagaimana mungkin orangtua menciptakan suasana rumah sebagai tempat yang kondusif (menggugah atau mendorong) bagi anak-anak untuk tertarik dan mau membaca, serta akhirnya menyenangi kegiatan membaca dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam kaitan ini, Dwi Purwoko mengatakan bahwa masih belum banyak keluarga yang menamamkan "budaya membaca" kepada putra-putrinya (Kompas, 21 Juni 1997).
Para orangtua hendaknya memahami peranan dan tanggungjawabnya untuk membimbing dan membelajarkan para anaknya sehingga memiliki pengetahuan membaca dan menulis. Langkah awal yang dibutuhkan tentunya adalah dengan mengkondisikan anak agar senantiasa terdorong untuk suka buku. Dengan menciptakan suasana rumah yang kondusif bagi anak-anak untuk menyenangi kegiatan membaca, maka lama-kelamaan diharapkan akan tertanam di dalam jiwa anak-anak perasaan gemar atau suka membaca (Kompas, 4 Nopember 1996). Apabila anak-anak telah terbiasa dalam suasana senang membaca di rumah, maka kebiasaan membaca yang sudah terpupuk di dalam diri anak-anak di rumah akan dibawa juga ke luar rumah.
Membaca menurut Dwi Purwoko memang relatif lebih sulit dibandingkan dengan menonton karena kegiatan membaca membutuhkan daya imajinasi yang kuat. Oleh karena itulah, seseorang akan lebih cenderung memilih menonton dibandingkan dengan kegiatan membaca.
d. Minat Baca dan Peran Guru
Ada pepatah yang mengatakan “bisa karena biasa”. Bagaimana bisa berkembang kegiatan membaca apabila tidak dibiasakan? Pada umumnya, anak-anak pertama sekali belajar membaca dan menulis adalah melalui bimbingan para guru di sekolah. Hal ini tidaklah mengabaikan bahwa ada juga para orangtua yang anak-anaknya telah dibimbing/diajari membaca dan menulis terlebih dahulu sebelum mereka memasuki pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bahkan ada juga sebagian para orangtua yang telah mengkondisikan lingkungan rumah tangganya sebagai tempat suka atau ramah membaca.
Para guru Taman kanak-Kanak atau SD mempunyai tugas untuk membelajarkan para anak didiknya untuk memiliki kemampuan membaca dan menulis. Memang menjadi dilematis bagi para guru untuk membiasakan anak-anak didiknya melakukan kegiatan membaca apabila sebagian besar para orangtua tidak mempunyai kemampuan untuk membeli buku atau bahan-bahan bacaan. Sekalipun memang di sekolah, ada perpustakaan sekolah tetapi seberapa banyak sekolah terutama yang tersebar di daerah pedesaan yang telah dilengkapi dengan perpustakaan sekolah? Tentu jumlahnya dapat dikatakan masih sangat terbatas, yaitu sebagaimana yang dikemukakan Mastini bahwa hanya sekitar 20% sekolah di Indonesia yang memiliki perpustakaan sekolah (Kompas, 18 September 1996). Perpustakaan sekolah inilah yang tampaknya perlu secara terus-menerus dikembangkan agar para peserta didik terkondisi untuk membiasakan diri mereka membaca.
Manakala perpustakaan telah tersedia di sekolah, maka tugas guru adalah menugaskan para peserta didik untuk memanfaatkan perpustakaan, tidak hanya sebagai tempat peminjaman buku tetapi juga tempat membaca buku secara teratur di luar buku-buku teks pelajaran. Misalnya saja, para peserta didik ditugaskan secara individual membaca sebuah buku sastra selama 2 minggu dan menuliskan secara singkat isi buku yang telah dibaca. Dalam kaitan ini, para peserta didik perlu dibimbing tentang cara-cara menulis ringkasan buku. Masalah jumlah buku dan rentangan waktu untuk membacanya tentu dapat disesuaikan dengan keadaan setempat yang ada. Yang penting adalah bahwa guru telah mengkondisikan para peserta didik secara teratur untuk membaca buku. Akan lebih baik lagi apabila peserta didik tidak hanya menulis ringkasan buku yang dibaca tetapi juga menyajikan di depan kelas, dan mendiskusikan isinya di bawah bimbingan guru.
Dengan teraturnya para peserta didik membaca buku, maka pepatah yang mengatakan “bisa karena biasa” dapat mewujud di dalam diri peserta didik. Para peserta didik akan terbiasa membaca buku sehingga pada akhirnya diharapkan kegiatan membaca akan menjadi salah satu kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.
e. Minat Baca dan Taman Bacaan Masyarakat (Perpustakaan Desa)
Beberapa tahun terakhir ini, Departemen Pendidikan Nasional terus menggugah masyarakat untuk berperanserta dalam penyelenggaraan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Dalam kaitan ini, Departemen Pendidikan Nasional memberikan insentif yang berupa block grant kepada organisasi/lembaga atau anggota masyarakat yang berperanserta menyelenggarakan pengadaan dan pengelolaan TBM. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat menggunakan waktu luangnya untuk kumpul-kumpul datang ke TBM, baik untuk membaca, mendapatkan informasi, maupun untuk berdiskusi tentang berbagai hal yang berkembang.
Para anggota masyarakat yang telah melek aksara dapat memanfaatkan TBM untuk melanjutkan/meningkatkan kemampuan membacanya melalui berbagai bahan bacaan yang disediakan pengelola TBM. Oleh karena itu, pengelola TBM hendaknya berupaya menyediakan bahan-bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik yang baru melek aksara maupun yang sudah melek aksara, seperti: para peserta didik, remaja, ibu-ibu atau masyarakat pada umumnya.
Ketersediaan atau kehadiran TBM tentulah akan menjadi tempat yang kondusif untuk menggugah masyarakat membiasakan dirinya membaca secara teratur. Memang diperlukan peranserta para pamong desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mensosialisasikan keberadaan dan manfaat TBM dalam kehidupan sehari-hari. Keikutsertaan keluarga yang memiliki kemampuan lebih, dapat menyumbangkan bahan-bahan bacaan yang dimilikinya, baik yang berupa surat kabar, majalah atau buku-buku ke TBM sehingga koleksi TBM terus bertambah dari waktu ke waktu.
2. Upaya Peningkatan Minat atau Kebiasaan Membaca
Semua pihak haruslah memiliki kepedulian (concerns) terhadap masih rendahnya minat atau kebiasaan membaca masyarakat di samping masih relatif tingginya jumlah masyarakat yang buta aksara. Masing-masing komponen bangsa termasuk keluarga terpanggil untuk berperanserta dalam peningkatan minat atau kebiasaan membaca sesuai dengan peran dan kemampuan yang dimiliki. Rentangan peranserta masyarakat dalam peningkatan kebiasaan membaca dapat dimulai dari penyampaian pokok-pokok pikiran sampai dengan kegiatan konkrit dalam menyediakan dan menyelenggarakan/mengelola unit atau tempat masyarakat dapat membaca.
a. Keluarga sebagai Tempat Persemaian Tumbuhnya Kegemaran Membaca
Tempat yang pertama sekali dirasakan dan dikenal anak sebagai lingkungan hidup yang interaktif yang penuh dengan perasaan cinta kasih adalah keluarga. Jika lahir sebagai anak yang pertama, maka tatapan mata ayah dan ibu yang penuh rasa kasih sayang tiada pernah henti. Belaian, nyanyian, ciuman, dan berbagai sentuhan lainnya memperlihatkan pencurahan totalitas kasih sayang orangtua yang tulus tiada hentinya dan berlangsung sepanjang masa. Pun tiada pernah terbersit di dalam diri orangtua untuk mendapatkan balasannya dari para anaknya.
Pertumbuhan minat baca bisa dimulai sejak bayi lahir. Bahkan banyak ahli psikologi yang menyarankan agar bayi yang masih ada di dalam kandungan juga distimulasi sejak dini untuk mengenal dunia luar dengan mengajak mereka berbicara. Sang orok yang masih berada dalam perut ibu katanya sudah dapat mendengar suara yang ada di sekitarnya, meskipun masih sangat lemah.
Para ahli psikologi dan syaraf menyatakan bahwa pada masa bayi berada dalam kandungan, maka pertumbuhan otaklah yang paling cepat di antara bagian tubuh yang lain. Pada saat bayi dilahirkan, sel-sel otak (neuron) telah mencapai 25% dari otak orang dewasa serta mengandung 100 miliar sel otak. Pada saat anak berumur 3 tahun, pertumbuhan otak sudah mencapai 90% dari otak dewasa. Setelah usia 3 tahun ke atas tinggal fase pembesaran dan pematangan neuron (http://www.suaramerdeka.com/).
Anak terus mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Panca indera anak mulai berfungsi sepenuhnya dan seluruhnya. Kebutuhan anak juga terus berkembang seiring dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Rasa atau dorongan untuk ingin mengetahui berbagai obyek yang ada di sekitar lingkungannya terus berkembang. Melalui indera penglihatan, anak mulai menjangkau dan mengambil, memegang, mengamati, dan menyimpannya jika menyukainya, atau kemudian membuang atau meletakkannya begitu saja apabila kurang atau tidak menyukainya.
Oleh karena itu, anak dalam usia dini perlu dikenalkan dengan dunia membaca (Kompas 1 Mei 1997). Otak mereka akan merekam isi bacaan apa pun yang disampaikan orangtuanya dalam gaya cerita. Hal ini telah dipraktikkan dan menjadi tradisi di Jepang dengan gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child. Gerakan ini menganjurkan seorang ibu untuk membacakan kepada anaknya sebuah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum atau sekolah selama 20 menit sebelum anaknya pergi tidur.
Selain itu, anak juga perlu diberikan buku-buku yang penuh warna-warni dan isinya memikat daya fantasi. Di samping untuk mengenalkan bentuk obyek, juga mengenalkan warna kepada anak. Karena pada usia dini, anak belum mampu memperlakukan buku dengan baik, maka fisik buku yang diperlukan anak umumnya mesti kuat dan tebal, tak mudah robek dan gampang dibuka. Di Amerika, buku-buku seri Child Growing-up (tumbuh kembah anak) terbitan Sesame Street sangat digemari sebab isinya yang sangat pas bagi anak, fisik buku pun sangat aman dan menarik bagi anak (http://www.suaramerdeka.com/ harian/0309/03/kha1.htm).
Meningkatkan minat baca anak memang dimulai dari keluarga sebagai tempat di mana orangtua mencurahkan kasih sayangnya. Orangtua hendaknya memberi contoh atau teladan dalam membaca. Apabila orangtua rajin membaca, maka anak akan melihat kebiasaan orangtuanya, dan juga akan menirukan kebiasaan tersebut (Santoso, 1996) karena anak belajar dari panca inderanya, yaitu antara lain melalui apa yang dilihat. Apabila orangtua sendiri tidak punya keinginan membaca atau di mata anak-anak bahwa orangtua mereka tidak atau jarana sekali membaca, maka sulit sekali menumbuhkan minat baca pada diri anak-anak.
Orangtua yang sering mengajak putra-putrinya untuk berjalan-jalan di toko buku, memilah-milah buku, mengajak ke pameran buku, atau mengajak putra-putrinya ke perpustakaan atau taman bacaan anak, maka di dalam diri anak juga akan tumbuh minat baca, karena orangtua telah mengarahkan mereka. Hal itu akan terjadi pula sebaliknya. Bila orangtua tidak pernah mengajak putra-putrinya ke toko buku, tidak pernah diajak memilah-milah buku, tidak pernah mengajak ke pameran buku, atau tidak pernah mengajak putra-putrinya ke perpustakaan atau taman bacaan anak, maka akan sulit ditumbuhkan minat baca di dalam diri anak.
Dengan pengenalan buku pada anak sejak dini, maka minat baca pada anak akan tumbuh. Sesuai dengan prinsip psikologi bahwa cara bertindak seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan yang terekam dalam memori otaknya semasa kecil.
b. Sekolah sebagai Tempat Menimba Ilmu dan Guru sebagai Orangtua Kedua
Upaya untuk meningkatkan minat atau kebiasaan membaca yang lain adalah sekolah, dan guru sebagai orangtua kedua di sekolah bisa terus menerus memotivasi peserta didik untuk membaca. Dengan menjelaskan manfaat membaca bagi para peserta didik, baik manfaat membaca itu saat ini atau kelak di kemudian hari diharapkan akan dapat menggugah minat peserta didik untuk menyukai kegiatan membaca. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar peserta didik giat membaca di sekolah adalah dengan mengajak mereka bersama-sama ke perpustakaan, guru membacakan buku cerita bergambar yang menarik dengan menunjukkan gambar ketika guru membacakan buku tersebut, di mana cara ini cocok unuk peserta didik TK dan kelas 1 SD.
Sedangkan peserta didik kelas 2 atau kelas 3, bisa dimotivasi minat bacanya dengan mengajak ke perpustakaan, meminta mereka membaca buku cerita yang telah disediakan guru, di mana guru telah memilihkan buku dengan warna-warni yang menarik, dan peserta didik diminta menceritakan siapa tokoh dalam buku tersebut, dan kejadian apa yang mereka alami. Kemudian, peserta didik kelas 4 hingga kelas 6 SD diminta untuk membaca buku, menuliskan siapa pengarang, isi cerita, dan pesan moral apa yang ingin disampaikan kepada pembaca, dan seterusnya. Semakin tinggi kelasnya, maka bisa semakin beragam dan kompleks tugas yang diberikan kepada peserta didik dalam hal membaca. Anak-anak sudah harus dijadwalkan untuk membaca buku-buku sastra, atau yang sesuai dengan minatnya. Kegiatan ini harus dilanjutkan ke kelas berikutnya dengan beban kegiatan yang disesuaikan agar anak-anak memiliki kemampuan memahami kehidupan dan perasaan orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, para peserta didik bisa berlatih menulis bagaimana caranya membuat ringkasan dan bercerita di depan teman-temannya. Dengan cara ini, sengaja atau tidak, anak-anak akan mengunjungi perpustakaan sekolah, perpustakaan umum untuk mencari berbagai referensi baru untuk mereka baca. Perpustakaan sebagai jantung sekolah dengan koleksi buku yang ada akan terasa sangat bermanfaat. Upaya yang demikian ini merupakan motivasi yang menjadi langkah awal positif untuk menggerakkan kemauan peserta didik untuk membaca.
Pada saat anak-anak menunggu pembagian rapor, kegiatan sekolah akan dapat bertambah misalnya dengan menyelenggarakan lomba membuat ringkasan buku dan lomba menceritakan kembali apa yang telah dibaca. Kegiatan lain yang dapat dilakukan juga adalah bedah buku. Bedah buku merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengkondisikan para peserta didik untuk membaca buku. Dapat saja misalnya guru menentukan (1) buku yang akan dibahas, (2) peserta didik yang akan menyajikan pendapatnya tentang buku yang akan dibahas, dan (3) peserta didik yang akan menyampaikan komentar terhadap buku yang dibahas.
Kerjasama antara orangtua dan guru dalam mengkondisikan anak agar gemar membaca perlu ditingkatkan. Di sekolah, peran guru sangat besar dan menentukan agar anak gemar membaca. Guru dapat memulai atau melanjutkan upaya membiasakan para peserta didik membaca melalui berbagai kegiatan sebagai pengisi waktu luang. Ada dugaan bila kebutuhan emosional seorang anak bisa terpenuhi maka diharapkan tawuran dan kenakalan remaja bisa berkurang (http://www.pakdirman.blogspot.com).
Peningkatan minat baca di sekolah sebenarnya sudah cukup lama digarap oleh pemerintah, terutama untuk tingkat SD, SLTP dan SMU. Dengan diadakannya Proyek Inpres tentang pengadaan buku bacaan di sekolah, maka semakin banyak pula bahan bacaan bagi anak sekolah.
Peran guru dalam meningkatkan minat baca anak adalah dengan cara meminta anak untuk membaca buku-buku yang disediakan guru. Selain buku, perpustakaan sekolah pun menjadi sarana yang perlu mendapat perhatian sebagai pusat pengembangan minat dan kegemaran membaca. Guru bisa mengajak peserta didik untuk belajar mencari materi pelajaran dari perpustakaan. Perpustakaan sekolah merupakan jantung sekolah yang memompakan semangat pemenuhan rasa ingin tahu (curiousity). Bahkan karena pentingnya perpustakaan, pemerintah mencanangkan bulan September sebagai bulan gemar membaca dan hari kunjung perpustakaan (http://www.suaramerdeka.com/).
c. Lingkungan Masyarakat selain Orangtua dan Guru
Tempat lain yang bisa membantu anak menumbuh-kembangkan minat dam kebiasaan bacanya adalah lingkungan yang mendukung. Adanya taman bacaan bagi masyarakat dapat menumbuhkan minat baca warga masyarakat yang tidak membedakan usia mereka. Majalah anak, koran anak, tabloid anak yang sekarang sedang marak juga mendukung upaya-upaya untuk menumbuh-kembangkan minat baca pada diri anak. Bila sajian dari majalah anak, koran anak, atau tabloid anak menarik, pasti anak selalu ingin membaca dan membaca. Komik juga sangat menarik bagi anak-anak. Banyak penerbit yang telah menerbitkan buku pengetahuan dalam bentuk komik, demikian juga dengan biografi orang-orang terkenal dan juga buku tentang budi pekerti. Oleh karena itu, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk lebih mengembangkan bacaan yang menarik bagi anak-anak.
d. Tiga Faktor yang Mempengaruhi Seseorang Membaca
Hasil temuan Jeanne Chall dan Emily Marston tentang tiga faktor yang mempengaruhi seseorang membaca dalam tulisannya yang berjudul ”The Reluctant Reader: Suggestion from Research and Practice”, dikutip oleh Donna E. Norton dalam bukunya ”Through the Eyes of A Child”, sebagaimana yang dikemukakan oleh Aprilia Purba (Kompas, 4 Januari 1997) adalah: (1) ketersediaan buku (accessibility of materials) hendaknya dimulai di lingkungan keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama seorang manusia, (2) kemampuan membaca hendaknya juga menjadi perhatian dalam penyediaan bahan-bahan bacaan (misalnya: tingkat kesulitan, mudah dipahami, bahasa yang sederhana), dan (3) minat baca.
C. Penutup
1. Kesimpulan
a. Membelajarkan anak-anak untuk dapat membaca dan menulis (baca tulis) oleh sebagian ahli dinilai lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan membelajarkan orang dewasa untuk hal yang sama. Oleh karena itu, masa kanak-kanak menjadi masa yang potensial dan strategis yang seyogianya dioptimalkan untuk membelajarkan anak-anak agar memiliki kemampuan membaca dan menulis.
b. Bagi masyarakat yang telah membiasakan dirinya membaca atau bahkan membudayakan kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari (membaca sebagai kebutuhan hidup sehari-hari), maka manifestasinya tampak dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terlepas dari aktivitas membaca.
c. Minat baca rendah karena masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang cenderung lebih mengembangkan budaya lisan dibandingkan dengan budaya tulis sekalipun sebenarnya budaya tulis telah lama dikenal dan dimulai penggunaannya, tingkat kesejahteraan sosial masyarakat turut menentukan apakah para orangtua akan mengirimkan anak-anaknya mengikuti pendidikan di TK, SD atau ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Peran orangtua dinilai masih belum sepenuhnya mengkondisikan rumah sebagai tempat persemaian tumbuh berkembangnya rasa ingin membaca di dalam diri para anak, guru juga masih belum semuanya membiasakan anak-anak didiknya untuk teratur membaca, dan masih terbatasnya sarana taman bacaan di lingkungan masyarakat.
d. Untuk meningkatkan minat dan kebiasaan membaca dapat dimulai dari kehidupan keluarga di rumah, diteruskan dan dibina oleh para guru di sekolah, sampai dengan penyelenggaraan perpustakaan atau taman bacaan di lingkungan masyarakat.
2. Saran-saran
Pemerintah, orangtua, guru, dan masyarakat hendaknya bersama-sama terus meningkatkan minat dan kebiasaan membaca anak-anak karena anak-anak merupakan penerus bangsa. Mengingat kebiasan dan minat baca yang tinggi dari suatu bangsa akan dapat mengantarkan bangsa yang bersangkutan untuk duduk sejajar dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan global, maka hendaknya semua komponen bangsa sesuai dengan peran masing-masing secara bersama terus memotivasi dan menumbuh-kembangkan minat dan kebiasaan membaca anak-anak.
Di lingkungan keluarga, para orangtua hendaknya berupaya menciptakan rumah sebagai tempat yang kondusif untuk mendorong anak-anak menjadi tertarik, senang dan mau membaca. Para orangtua juga hendaknya juga memperlihatkan contoh (sebagai model panutan) kebiasaan membaca yang sehari-harinya dapat diamati oleh anak-anaknya dan diharapkan akan menjadi model yang ditiru oleh anak-anaknya. Pemberian buku sebagai hadiah kepada anak, membawa anak mengunjungi perpustakaan atau toko-toko buku, mendiskusikan isi buku tertentu dengan anak, akan dapat mendorong anak untuk melakukan kegiatan membaca.
Di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan sekolah, para guru hendaknya selalu berupaya untuk mendorong para peserta didiknya untuk secara teratur melakukan kegiatan membaca dan mengisi waktu-waktu luangnya dengan kegiatan membaca melalui pemberian tugas-tugas sekolah. Menulis ringkasan isi suatu buku, menceritakan isi buku di depan teman-temannya atau membuat klipping tentang tema tertentu dapat merupakan salah satu kondisi yang mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan membaca. Mengembangkan dan mengelola perpustakaan sekolah juga dapat menjadi salah satu kondisi yang dapat menggugah peserta didik untuk melakukan kegiatan membaca. Oleh karena itu, disarankan agar sekolah mengupayakan adanya perpustakaan sekolah. Apabila sekolah sudah memiliki perpustakaan, maka perlu dilakukan pengadaan buku dan bahan-bahan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik agar peserta didik tergugah mengunjungi perpustakaan dan melakukan kegiatan membaca.
Perpustakaan umum dan taman-taman bacaan masyarakat perlu terus-menerus ditingkatkan Pemerintah, baik yang berkaitan dengan jumlah maupun kualitasnya. Lomba membaca cepat dan membaca banyak buku dapat dipertimbangkan untuk diselenggarakan karena akan dapat mendorong masyarakat untuk membiasakan dirinya membaca secara teratur. Anggota masyarakat yang banyak membaca buku secara teratur diberikan penghargaan sehingga masyarakat akan tergugah untuk berperanserta membiasakan dirinya membaca. Demikian juga inisiatif masyarakat untuk menyelenggarakan atau mengelola taman-taman bacaan masyarakat perlu mendapat dukungan dan bantuan dari pemerintah.
Kepustakaan
Arixs. 2006. Enam Penyebab Rendahnya Minat Baca. http://www.cybertokoh.com/mod.
Harian Umum Kompas. 1996. Pengembangan Minat Baca, Tanggungjawab Orangtua. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 4 Nopember 1996.
Harian Umum Kompas. 1996. Senjang, Budaya Membaca dengan Tiras Pers. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 1 Februari 1996.
Harian Umum Kompas. 1997. Dunia Pendidikan Jepang (2-Habis): Mengenal Buku dan Memupuk Minat Baca. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 1 Mei 1997.
Harian Umum Kompas. 1997. Buku Pelajaran tidak Tingkatkan Minat Baca. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 5 Mei 1997.
Mastini. 1996. Perpustakaan Nasional akan Perjuangkan Buku Bebas Pajak. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 18 September 1996.
Muslih, Muh. 2003. Budaya Membaca Masih di Awang-Awang. http://www.suaramerdeka.com/ harian/0309/03/kha1.htm.
Purba, Aprilia. 1997. Pajak Buku dan Minat Baca. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 4 Januari 1997.
Purwoko, Dwi. 1997. Minat Baca Rendah Terkait Masalah Psikologis, artikel yang dimuat di Harian Umum Kompas, terbitan tanggal 21 Juni 1997.
Santoso, Hieronymus Budi. 1996. Mewujudkan Keluarga Gemar Membaca. Jakarta: Harian Umum Kompas tanggal 25 September 1996.